Difabilitas dalam Perspektif Al-Qur'an
A. Latar Belakang
Al-Qur’an
adalah firman Allah ta’ala yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. melalui
Malaikat Jibril as. secara berangsur-angsur yang terdiri dari 30 juz, 114 surah
dan terdapat sekitar 6666 ayat, dan membacanya merupakan ibadah. Di dalam
Al-Qur’an sendiri diterangkan bahwa Al-Qur’an merupakan petunjuk bagi umat
manusia. Termasuk dalam hal kehidupan bermasyarakat, kita diajarkan untuk tidak
mendiskriminasi seseorang yang berkebutuhan khusus karena pada hakekatnya bahwa
setiap manusia adalah sama, Allah tidak membeda-bedakan manusia, baik itu dari
status sosial ekonomi maupun dari keadaan fisik seseorang kecuali dari
tingkatan ketaqwaannya kepada Rabb-nya. Sungguh indah apa yang sudah diajarkan dalam
Agama Islam apabila mampu diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, yang
tentunya akan dapat menciptakan hubungan yang harmonis dalam anggota masyarakat.
Ada beberapa ayat dalam Al-Qur’an yang
menyinggung tentang disability, beberapa
di antaranya ada pada surah ‘Abasa (ayat 1-2) yang berisi teguran kepada Nabi
Muhammad saw. karena telah bermuka masam dan berpaling dari seorang penyandang
tunanetra, dalam surah Al-Hujurat (ayat 11) berisi larangan untuk
membeda-bedakan terhadap sesama, kemudian juga dalam surah Maryam (ayat 96)
mengajarkan untuk saling berkasih sayang. Dalam hadist Nabi saw. pun ada
diterangkat berkaitan dengan disability.
B. Rumusan Masalah
Di
dalam laporan ini akan membahas beberapa hal yang berkaitan dengan disability, sebagai berikut:
1.
Apa yang dimaksud dengan Disablility?
2.
Bagaimana pandangan Agama Islam terhadap
disabilitas?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan
penulisan dari laporan ini adalah untuk menjawab pertanyaan yang terdapat pada
bagian rumusan masalah di atas:
1.
Untuk mengetahui penjelasan dari disability.
2.
Untuk mengetahui pandangan Agama Islam terhadap
disabilitas.
D.
Penelitian Terdahulu
Berkaitan dengan
penelitian terhadahulu yang pernah dilakukan oleh Rif’atul Khioriyah mahasiswa
lulusan tahun 2015 dari UIN Walisongo Semarang, dalam skripsinya yang berjudul Difabilitas dalam Al-Qur’an,
mengungkapkan beberapa
kesimpulan dari pemaparan dan penjelasan tentang difabilitas dalam al-Qur’an
yakni sebagai berikut:
1. Penafsiran merupakan
salah satu unsur yang harus diupayakan guna memberikan pemahaman keagamaan yang
sesuai, bagi masyarakat. Karena seperti kita ketahui bahwa pemikiran masyarakat
selama ini, salah satunya dipengaruhi oleh pemahaman mereka terhadap teks-teks
keagamaan. Penafsiran ayat-ayat yang membahas difabilitas dalam al-Qur’an,
terwakili oleh ayat-ayat difabel yang dinyatakan secara haqiqi, dengan istilah
‘umyun dan a’roj. Ayat tersebut menunjukkan adanya kesetaraan perlakuan yang
diberikan al-Qur’an kepada mereka, bukan malah mencela dan mendiskriminasi
mereka.
Berbeda halnya dengan pemaknaan istilah-istilah
tersebut secara majazi, dalam artian kekurangan yang bukan berasal dari fisik,
melainkan karena kelalaian mereka sehingga tidak menggunakan kesempurnaan
fisiknya untuk melakukan kebaikan, tidak mengerjakan apa yang diserukan Allah.
Untuk kondisi yang terakhir ini, al-Qur'an merespon dengan celaan bahkan
ancaman siksaan.
2.
Al-Qur’an memberi perhatian penuh untuk penyandang
difabel, diantaranya yaitu:
a.
Al-Qur’an memberikan keringanan-keringanan untuk
para penyandang difabel, seperti diperbolehkannya tidak ikut berjihad (pada
masa Rasulullah).
b.
Al-Qur’an tidak memperbolehkan diskriminasi terhadap
difabel dan mendapatkan hak yang sama dengan orang-orang yang sempurna
fisiknya. Karena yang dinilai Allah ialah ketaqwaan dan keimanannya saja.[1]
E.
Landasan Teori
1. Konstruksi Makna Disability
Pendifinisian
pengertian disability ini mempunyai
sejarah yang panjang. Telah dikenal sejak lama bahwa terdapat perbedaan konsep
antara istilah disability dan handicap. Disability adalah keadaan actual fisik, mental, dan emosi. Handicap adalah keterbatasan yang
terjadi pada individu oleh karena disabililty.
Pada
saat membicarakan tentang konstruksi makna sosial istilah terbelakang mental (mental retardation), James trent dalam
bukunya Inventing The Feeble Mind
menjelaskan disability ini sebagai
suatu konstruksi yang perubahan maknanya dibentuk baik oleh individu yang
memulailnua, juga para pembuat kebijakan, program dan pelaksanaannya, maupun
oleh konteks sosial di mana individu-individu itu memberikan respon. Trent
menegaskan bahwa konstruksi makna disability
ini kadang dilakukan atas nama ilmu pengetahuan, perhatian pada orang-orang disability, atau demi tuntutan kebutuhan
sosial dan ekonomi.[2]
Kata difabel berasal
dari kata different ability atau
orang-orang berkemampuan berbeda. Istilah ini diciptakan untuk mengganti label disable atau disability, yang berarti penyandang cacat. Kedua kata tersebut jika
mengikuti pendefinisian the Sosial Work
Dictionary adalah reduksi fungsi secara permanen atau temporer serta
ketidakmampuan seseorang untuk melakukan sesuatu yang mampu dilakukan orang
lain sebagai akibat dari kecacatan fisik maupun mental. Kosakata ini dianggap
diskriminatif dan dianggap mengandung stigma negatif akan para penyandang cacat
oleh aktivis gerakan sosial di tahun 1990-an.
Untuk itu, di tahun
1995, salah seorang aktivis gerakan sosial Mansour Fakih mempopulerkan difable yang kemudian diindonesiakan
menjadi difabel yang berarti differently
able (orang yang berkemampuan berbeda). Pembedaan istilah difabel dalam
beberapa publikasi para aktifis gerakan sosial menunjukkan bahwa istilah
tersebut memang sebagai pengganti kosa kata inggris disable, serta dominan dalam pengertian kemampuan fisik yang
berbeda. Dalam konteks pemakaian para aktivis tersebut difabel menggantikan
para penyandang cacat fisik, seperti tunanetra, tunarungu, tunawicara, serta
“ketidaknormalan” fisik lainnya, baik bawaan lahir maupun karena faktor
lainnya.[3]
Pada masa belakangan,
penyebutan terhadap orang-orang yang berbeda secara fisik dengan kata disabel (disable/orang cacat) mulai mendapatkan
gugatan dari para aktivis antidiskriminasi. Para penolak diskriminasi
mempopularkan kata baru yang dirasa lebih mampu menggambarkan secara lebih
positif dan utuh untuk kaum yang berbeda secara fisik. Kata yang digunakan oleh
kelompok ini adalah difability
(difabilitas) yang merupakan akronim dari different
ability (kemampuan yang berbeda). Sedangkan orang-orangnya disebut dengan
kaum difable (difabel) yang merupakan
akronim dari differently able
(memiliki kemampuan secara berbeda). Dengan menggunakan kata ini, maka gambaran
yang lebih positif dan adil terhadap kaum difabel bisa diberikan.
Kata difabel menyatakan
bahwa orang-orang yang memiliki sebagian anggota tubuh yang berbeda dengan
orang lain bukanlah orang-orang yang tidak memiliki kemampuan untuk berkarya.
Orangorang ini diakui memiliki kemampuan untuk melakukan sesuatu sebagaimana
orang lain, namun dengan cara yang berbeda. Jika orang-orang yang memiliki
tangan melukis dengan tangannya, maka orang-orang yang tidak memiliki tangan
tetap mampu melukis tetapi dengan menggunakan kaki atau mulutnya.[4]
2. Perundang-Undangan tentang Difabel
Para penyandang difabel sering kali
dipandang sebelah mata bagi masyarakat luas, hal ini dikarenakan oleh beberapa
faktor beberapa diantaranya disebabkan oleh keterbatasan mereka untuk melakukan
suatu aktivitas dan keterbatasan mereka terhadap kemampuan fisik mereka. Kaum difabel dari segi kuantitas merupakan kelompok
minoritas dalam masyarakat, tetapi mereka masih memiliki potensi yang dapat
diandalkan sesuai dengan kecacatannya melalui proses-proses khusus dan mereka
pun merupakan sumber daya manusia yang menjadi aset nasional. Hal ini ditunjang
dengan diterimanya Deklarasi Hak-Hak Penyandang Cacat oleh PBB (Perserikatan
Bangsa-Bangsa) pada tanggal 9 Desember 1975 yang antara lain menyebutkan bahwa
kaum difabel mempunyai hak yang sama dalam masyarakat,
termasuk hak untuk berperan serta dan ikut memberi sumbangan
pada semua segi ekonomi, sosial dan politik, yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan sebagai berikut:
1)
TAP MPR Nomor XVII/MPR/1988 tentang Hak Asasi Manusia.
2) Peraturan Perundangan dan Peraturan Daerah :
1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang
Cacat.
2)
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak asasi Manusia.
3)
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
4)
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Pendidikan.
5)
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.
3)
Peraturan Pemerintah.
Peraturan
Pemerintah Nomor 43 tahun 1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial
penyandang Cacat. Ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1998 ini
merupakan aturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997. Mengatur
tentang upaya yang harus dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan
kesejahteraan sosial difabel. Melalui program rehabilitasi pelatihan, yang
dilakukan dengan pemberian pelayanan pelatihan secara utuh dan terpadu melalui
kegiatan yang berupa: (1) assessment pelatihan, (2) bimbingan dan penyuluhan
jabatan, (3) latihan ketrampilan dan permagangan, (4) penempatan, (5) pembinaan
lanjut. Rehabilitasi pelatihan dimaksudkan agar penyandang cacat dapat memiliki
ketrampilan kerja sesuai dengan bakat dan kemampuannya. Pelayanan rehabilitasi
pelatihan merupakan salah satu dari bidang pelayanan rehabilitasi bagi
penyandang cacat. Rehabilitasi pelatihan merupakan bagian integral dari proses
kegiatan rehabilitasi yang meliputi bagian bimbingan pekerjaan, pelatihan
pekerjaan dan seleksi penempatan, yang dirancang untuk penyandang cacat dewasa
agar dapat kembali bekerja.
4) Keputusan Presiden Nomor 83 Tahun 1999
tentang Lembaga Koordinasi dan Pengendalian Peningkatan Kesejahteraan Sosial
Penyandang cacat.
5) Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor.
Men.02/MEN/1994 tentang Penempatan Tenaga Kerja di Dalam dan Luar Negeri.
6) Keputusan Menteri
Keputusan
Menteri Tenaga Kerja RI Nomor Keputusan 205/Men/1999 tentang Pelatihan Kerja
dan Penempatan Tenaga Kerja Penyandang Cacat.
Disamping
ketentuan diatas ada ketentuan internasional yang memberikan perlindungan
kepada para difabel yaitu Resolusi PBB Nomor: 3477 (XXX) tanggal 9 Desember
1975 tentang Deklarasi Hak-hak Penyandang Cacat, ditegaskan bahwa penyandang
cacat memiliki hak ekonomi dan jaminan sosial serta hak untuk penghidupan yang
layak.[5]
F. Paparan Data
1. Istilah-Istilah Difabel yang terdapat dalam
Al-Qur’an
a. ‘Umyun/A’ma (Tunanetra)
1) Surah ‘Abasa : 1-2
عَبَسَ وَتَوَلَّى ﴿١﴾ أَن جَاءهُ الْأَعْمَى ﴿٢﴾
“Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, (1) karena telah datang seorang buta kepadanya. (2)”
Ayat di atas menurut banyak ulama turun menyangkut
sikap Nabi Muhammad saw. kepada sahabat beliau ‘Abdullah ibn Ummi Maktum,
ketika Nabi sedang sibuk menjelaskan Islam kepada
tokoh-tokoh kaum Musyrikin Makkah, atau salah satu seorang tokoh
utamanya, yaitu Al-Walid ibn Al-Mughirah. Beliau berharap ajakannya dapat
menyentuh hati dan pikiran mereka sehingga mereka bersedia memeluk Islam dan
ini tentu saja akan membawa dampak positif bagi perkembangan dakwah Islam. Saat-saat
itulah datang ‘Abdullah ibn Ummi Maktum ra. yang rupanya tidak mengetahui
kesibukan penting Nabi itu lalu menyela pembicaraan Nabi saw. memohon agar
diajarkan kepadanya apa yang telah diajarkan Allah kepada Nabi saw. ini,
menurut riwayat diucapkan berkali-kali. Sikap ‘Abdullah ini tidak berkenan di
hati Nabi saw. --namun beliau tidak menegur apalagi menghardiknya—hanya saja
tampak pada air muka beliau rasa tida senang. Maka turunlah ayat di atas
menegur beliau.
Penyebutan
kata (عبس) ‘abasa dalam bentuk persona ketiga, tidak secara
langsung menunjuk Nabi saw., mengisyaratkan betapa halus teguran ini dan betapa
Allah pun—dalam mendidik Nabi-Nya—tidak menuding beliau atau secara tegas
mempersalahkannya. Ini, menurut al-Biqa’i, mengisyaratkan bahwa apa yang beliau
lakukan ketika itu sungguh berbeda dengan akhlak beliau sehari-hari yang sangat
kasih kepada yang butuh dan selalu senang berada di tengah mereka. Kesan ini berbeda
dengan kesan Thabathaba’i yang sejak semula tidak memahami ayat-ayat di atas
turun sebagai kecaman kepada Nabi Muhammad saw., tetapi kepada orang lain.
Kesan ulama itu adalah bahwa bentuk persona ketiga ini untuk mengisyaratkan
betapa keras kecaman ini sehingga seakan-akan melalui kedua ayat di atas Allah
berpaling dari yang dikecam itu karena dia tidak wajar diajak berdialog
oleh-Nya, sedang kedua ayat berikut memperkuat kecaman itu dengan mengarahkan
langsung kecaman kepadanya. Sayyid Quthub, yang menilai kecaman itu ditujukan
kepada Nabi Muhammad saw., menulis bahwa redaksi berbentuk persona ketiga itu
mengesankan bahwa persoalan yang sedang dibicarakan ayat di atas—yakni kasus
mengabaikan sang tunanetra—sedemikian buruk di sisi Allah sampai-sampai Dia
enggan mengarahkan pembicaraan kepada Nabi- Nya dan kekasih-Nya—karena kasih
dan rahmat-Nya kepada beliau serta penghormatan kepadanya untuk tidak diarahkan
kepada beliau hal yang buruk itu. Nanti kemudian—setelah ditutup kasus yang
menjadi sebab teguran itu—baru Allah mengarah kepada beliau dalam bentuk
persona kedua (ayat 3 dan seterusnya).
Penyebutan
kata (الأعمى) al-a'ma/yang buta mengisyaratkan bahwa Abdullah
bersikap demikian karena dia tidak melihat sehingga hal ini mestinya dapat
merupakan alasan untuk menoleransinya.[6]
2)
Surah Al-Fath : 17
لَيْسَ عَلَى الْأَعْمَى
حَرَجٌ وَلَا عَلَى الْأَعْرَجِ حَرَجٌ وَلَا عَلَى الْمَرِيضِ حَرَجٌ وَمَن
يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا
الْأَنْهَارُ وَمَن يَتَوَلَّ يُعَذِّبْهُ عَذَابًا أَلِيمًا ﴿١٧﴾
“Tiada dosa
atas orang-orang yang buta dan atas orang yang pincang dan atas orang yang
sakit (apabila tidak ikut berperang). Dan barangsiapa yang taat kepada Allah
dan Rasul-Nya; niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di
bawahnya sungai-sungai dan barang siapa yang berpaling niscaya akan diazab-Nya
dengan azab yang pedih. (17)”
Ayat
yang lalu mengancam orang-orang yang enggan memenuhi ajakan pergi berjihad,
ayat ini mengecualikan beberapa kelompok dengan menyatakan: Tiada dosa atas
orang yang buta bila tidak memenuhi ajakan itu dan tidak juga atas orang
pincang yakni cacat dan demikian juga tidak atas orang sakit
dengan jenis penyakit apa pun. Maka, barang siapa di antara mereka tidak
memenuhi ajakan itu, hal tersebut dapat ditoleransi baginya dan barang siapa
yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya dengan menyambut ajakan itu baik yang
sehat maupun yang memiliki beragam uzur yang dibenarkan niscaya Allah akan
memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di bawah istana- istana-nya,
sungai-sungai, dan barang siapa yang berpaling enggm menyambut ajakan itu
niscaya akan disiksa-Nya dengan siksa yang pedih.
Ayat
di atas tidak menggunakan redaksi pengecualian, yakni tidak menyatakan bahwa kecuali
orang buta dan seterusnya. Ini untuk mengisyaratkan bahwa sejak awal mereka
sudah tidak dibebani untuk pergi berperang—sehingga kelompok ini bukan kelompok
yang dikecualikan. Namun demikian, pernyataan tidak ada dosa tanpa
menyebut dalam hal apa ketiadaan dosa itu (yang penulis kemukakan di atas
dengan kalimat "bila tidak memenuhi ajakan itu") untuk mengisyaratkan
bahwa kehadiran mereka tidak terlarang karena kehadiran mereka yang memiliki
udzur itu sedikit atau banyak dapat membantu dan memberi dampak positif bagi
kaum muslimin.[7]
Istilah tunanetra
digunakan untuk orang yang mengalami gangguan penglihatan yang tergolong berat
sampai benar-benar buta, yang diklasifikasikan menjadi kurang lihat (low vision/parfially sighted) dan Totally blind atau tidak ada sisa
penglihatan/buta. Berdasarkan tingkat ketajaman penglihatan tunanetra dapat
dibedakan menjadi:
a) Ketajaman penglihatan 6/20m-6/60m atau
20/70 feet-20/200 feet (kurang lihat)
b) Ketajaman penglihatan 6/60m atau 20/200
feet atau kurang, yang disebut buta.
c) Tunanetra yang memiliki visus 0, atau
yang disebut buta total (totally blind).
Karakteristik Anak Tunanetra:
a) Karakteristik Anak Tunanetra dalam Aspek
Akademis, Tilman & Osborn (1969) menemukan beberapa perbedaan antara anak
tunanetra dan anak awas, yaitu: (1) sebenarnya menyimpan pengalaman-pengalaman
khusus seperti halnya anak awas, namun pengalaman-pengalaman tersebut kurang
terintegrasikan. (2) mendapatkan angka yang hampir sama dengan anak awas, dalam
hal berhitung, informasi, dan kosakata, tetapi kurang baik dalam hal pemahaman
(comprehention) dan persaman.
b) Kosa kata anak tunanetra cenderung
merupakan kata-kata yang definitif.
c) Karakteristik Anak Tunanetra dalam Aspek
pribadi dan Sosial
Masalah kepribadian
cenderung diakibatkan oleh sikap negatif yang diterima anak tunanetra dari
lingkungan sosialnya. Anak tunanetra cendenrung mengalami kesulitan dalam
menguasai keterampilan sosial, karena keterampilan tersebut biasanya diperoleh
individu melalui model atau contoh perilaku dan umpan balik melalui
penglihatan. Beberapa karakteristik sebagai akibat langsung maupun tidak
langsung dari ketunanetraannya, adalah curiga terhadap orang lain, mudah
tersinggung, dan ketergantungan pada orang lain.
d) Karakteristik Anak Tunanetra dalam Aspek
Fisik/Indera dan Motorik/ Perilaku.
Secara
fisik, akan mudah ditentukan bahwa orang tersebut mengalami tunanetra. Hal itu
dapat dilihat dari kondisi matanya yang berbeda dengan mata orang awas dan
sikap tubuhnya yang kurang ajeg serta agak kaku. Anak tunanetra menunjukkan
kepekaan yang lebih baik pada indera pendengaran dan perabaan dibandingkan
dengan anak awas. Dalam aspek motorik/perilaku, gerakan terlihat agak kaku dan
kurang fleksibel, serta sering melakukan perilaku stereotif, seperti
menggosok-gosok mata dan menepuk-nepuk tangan.[8]
b.
Summun (Tunarungu) dan Bukmun (Tunawicara)
1)
Surah Al-Baqarah : 18
صُمٌّ بُكْمٌ عُمْيٌ فَهُمْ
لاَ يَرْجِعُونَ ﴿١٨﴾
“Mereka tuli, bisu dan buta, maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan
yang benar) (18)”
Mereka adalah
orang-orang yang tuli sehingga tidak bisa mendengarkan kebenaran untuk
selanjutnya meresapinya, bisu sehingga mereka tidak kuasa mengucapkannya, dan
mereka juga buta sehingga tidak kuasa melihat cahaya petunjuk. Karenanya mereka
tidak kuasa kembali kepada iman yang sebelumnya telah mereka campakkan, dan
mereka menggantikannya dengan kesesatan.[9]
Mereka tidak
memanfaarkan potensi yang dianugerahkan Allah kepadanya sehingga mereka tuli
tidak mendengar petunjuk, bisu tidak mengucapkan kalimat hak, dan buta
tidak melihat tanda-tanda kebesaran
Allah. Dengan demikian, semua alat yang dianugerahkan oleh Allah untuk
digunakan memperoleh petunjuk (mata, telinga, lidah dan hati) telah lumpuh
sehingga, pada akhirnya, mereka tidak dapat kembali insaf dan menyadari
kesesatan mereka.[10]
2) Al-Baqarah : 171
وَمَثَلُ الَّذِينَ كَفَرُواْ
كَمَثَلِ الَّذِي يَنْعِقُ بِمَا لاَ يَسْمَعُ إِلاَّ دُعَاء وَنِدَاء صُمٌّ
بُكْمٌ عُمْيٌ فَهُمْ لاَ يَعْقِلُونَ ﴿١٧١﴾
“Dan perumpamaan (orang-orang yang menyeru) orang-orang kafir adalah
seperti penggembala yang memanggil binatang yang tidak mendengar selain
panggilan dan seruan saja. Mereka tuli, bisu dan buta, maka (oleh sebab itu)
mereka tidak mengerti. (171)”
Sifat orang-orang kafir
beserta penyeru mereka kepada iman adalah seperti sifat penggembala yang
meeriaki hewan-hewan gembalanya dan menghardiknya, sementara hewan-hewan
tersebut tidak memahami makna kata-katanya, ia hanya mendengar panggilan dan
gema suaranya saja. Orang-orang kafir itu adalah orang-orang yang tuli sehingga
mereka tidaak mendengar kebenaran, bisu sehingga mereka tidak kuasa mengucapkan
kebenaran dan buta sehingga mereka tidak bisa melihat bukti-bukti yang jelas.
Mereka tidak menggunakan akal mereka dalam perkara yang bermanfaat bagi mereka.[11]
Maksudnya, perumpamaan
orang yang menyeru orang-orang kafir kepada kebenaran adalah seperti
penggembala yang berteriak. Rasul atau para juru dakwah diibaratkan dengan
penggembala, sedang para pengikut tradisi yang usang itu seperti binatang.
Mereka yang diajak itu sama dengan binatang. Keduanya mendengar suara panggilan
dan teriakan tetapi tidak memahami atau tidak dapat memanfaatkan suara
panggilan itu.
Ayat ini dapat juga
berarti orang-orang itu, dalam ibadah dan doa mereka kepada tuhan-tuhan mereka,
seperti penggembala yang berteriak kepada binatangnya yang tidak mendengar. Di
sini, orang orang kafir itu diibaratkan dengan penggembala dan tuhan-tuhan yang
mereka sembah diibaratkan serupa dengan binatang-binatang.
Orang-orang kafir yang
mempertahankan tradisi usang itu pada hakikatnya tuli, tidak
memfungsikan alat pendengar mereka sehingga mereka tidak dapat mendengar
bimbingan; bisu, tidak memfungsikan lidah mereka sehingga mereka tidak
dapat bertanya dan berdialog, dan buta tidak memfungsikan mata mereka
sehingga mereka tidak dapat melihat tanda-tanda kebesaran Allah, dan akhirnya
mereka tidak dapat menggunakan alat-alat itu untuk mendengar, melihat, dan
berpikir sesuai dengan yang dikehendaki Allah ketika menganugerahkannya, dan
dengan demikian mereka tidak dapat menggunakan akalnya (yakni tidak ada
kendali yang menghalanginya melakukan keburukan, kesalahan, dan mengikuti
tradisi orangtua walau mereka sesat atau keliru). Orang-orang mukmin dilarang
mengikuti mereka.[12]
Anak tunarungu adalah
anak yang memiliki gangguan dalam pendengarannya, baik secara keseluruhan
ataupun masih memeliki sisa pendengaran. Meskipun anak tunarungu sudah
diberikan alat bantu dengar, tetap saja anak tunarungu masih memerlukan
pelayanan pendidikan khusus.
Ketunarunguan dapat
diklasifikasikan sebagai berikut.
a) Berdasarkan tingkat kehilangan
pendengaran, ketunarungunan dapat diklasifikasikan sebagai berikut.
(1) Tunarungu ringan (Mild Hearing Loss)
(2) Tunarungu sedang (Moderate Hearing Loss)
(3) Tunarungu agak berat (Moderately Severe Hearing Loss)
(4) Tunarungu berat (Severe Hearing Loss)
(5) Tunarungu berat sekali (Profound Hearing Loss)
b) Berdasarkan saat terjadinya,
ketunarunguan dapat diklasifikasikan sebagai berikut.
(1) Ketunarunguan Prabahasa (Prelingual Deafness)
(2) Ketunarunguan Pasca Bahasa (Post Lingual Deafness)
c) Berdasarkan letak gangguan pendengaran
secara anatomis, ketunarunguan dapat diklasifikasikan sebagai berikut.
(1) Tunarungu Tipe Konduktif (kerusakan
bagian luar penghubung)
(2) Tunarungu Tipe Sensorineural (kerusaskan
bagian dalam saraf penghantar)
(3) Tunarungu Tipe Campuran (mengalami
seperti yang terjadi pada konduktif dan sensori)
Karakteristik
anak tunarungu:
Keterbatasan dalam
kemampuan berbicara dan berbahasa mengakibatkan anak tunarungu cenderung
memiliki prestasi yang rendah dalam mata pelajaran yang bersifat verbal dan
cenderung sama dalam mata pelajaran yang bersifat nonverbal dengan anak normal
seusianya.
Karakteristik lainnya
pada anak tunarungu yang harus dipahami adalah aspek sosial-emosional,
tergambar sebagai berikut:
a) Pergaulan terbatas dengan sesama
tunarungu, sebagai akibat dari keterbatasan dalam kemampuan berkomunikasi.
b) Sifat egosentris yang melebihi anak
normal, yang ditunjukkan dengan sukarnya mereka menempatkan diri pada situasi berpikir
dan perasaan orang lain, sukarnya menyesuaikan diri, serta tindakannya lebih
terpusat pada "aku/ego" sehingga kalau ada keinginan, harus selalu dipenuhi.
c) Perasaan takut (khawatir) terhadap
lingkungan sekitar, yang menyebabkan ia tergantung pada orang lain serta kurang
percaya diri.
d) Perhatian anak tunarungu sukar
dialihkan, apabila ia sudah menyenangi suatu benda atau pekerjaan tertentu.
e) Memiliki sifat polos, serta perasaan
pada umumnya dalam keadaan ekstrem tanpa banyak nuansa.
f) Cepat marah dan mudah tersinggung,
sebagai akibat seringnya mengalami kekecewaan karena sulitnya menyampaikan
perasaan/keinginannya secara lisan ataupun dalam memahami pembicaraan orang
lain.[13]
c. A’roj
(pincang/Tunadaksa)
1) An-Nur : 61
لَيْسَ عَلَى الْأَعْمَى
حَرَجٌ وَلَا عَلَى الْأَعْرَجِ حَرَجٌ وَلَا عَلَى الْمَرِيضِ حَرَجٌ وَلَا عَلَى
أَنفُسِكُمْ أَن تَأْكُلُوا مِن بُيُوتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ آبَائِكُمْ أَوْ بُيُوتِ
أُمَّهَاتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ إِخْوَانِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أَخَوَاتِكُمْ أَوْ
بُيُوتِ أَعْمَامِكُمْ أَوْ بُيُوتِ عَمَّاتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أَخْوَالِكُمْ أَوْ
بُيُوتِ خَالَاتِكُمْ أَوْ مَا مَلَكْتُم مَّفَاتِحَهُ أَوْ صَدِيقِكُمْ لَيْسَ
عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن تَأْكُلُوا جَمِيعًا أَوْ أَشْتَاتًا فَإِذَا دَخَلْتُم
بُيُوتًا فَسَلِّمُوا عَلَى أَنفُسِكُمْ تَحِيَّةً مِّنْ عِندِ اللَّهِ
مُبَارَكَةً طَيِّبَةً كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الْآيَاتِ لَعَلَّكُمْ
تَعْقِلُون ﴿٦١﴾
“Tidak ada halangan bagi orang buta, tidak (pula) bagi orang pincang,
tidak (pula) bagi orang sakit, dan tidak (pula) bagi dirimu sendiri, makan
(bersama-sama mereka) dirumah kamu sendiri atau dirumah bapak-bapakmu, dirumah
ibu-ibumu, dirumah saudara-saudaramu yang laki-laki, di rumah saudaramu yang
perempuan, dirumah saudara bapakmu yang laki-laki, dirumah saudara bapakmu yang
perempuan, dirumah saudara ibumu yang laki-laki, dirumah saudara ibumu yang
perempuan, dirumah yang kamu miliki kuncinya atau dirumah kawan-kawanmu. Tidak
ada halangan bagi kamu makan bersama-sama mereka atau sendirian. Maka apabila
kamu memasuki (suatu rumah dari) rumah-rumah (ini) hendaklah kamu memberi salam
kepada (penghuninya yang berarti memberi salam) kepada dirimu sendiri, salam
yang ditetapkan dari sisi Allah, yang diberi berkat lagi baik. Demikianlah
Allah menjelaskan ayat-ayatnya(Nya) bagimu, agar kamu memahaminya. (61)”
2) Al-Fath
: 17
لَيْسَ عَلَى الْأَعْمَى
حَرَجٌ وَلَا عَلَى الْأَعْرَجِ حَرَجٌ وَلَا عَلَى الْمَرِيضِ حَرَجٌ وَمَن
يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا
الْأَنْهَارُ وَمَن يَتَوَلَّ يُعَذِّبْهُ عَذَابًا أَلِيمًا ﴿١٧﴾
“Tiada dosa atas orang-orang yang buta dan atas orang yang pincang dan
atas orang yang sakit (apabila tidak ikut berperang). Dan barangsiapa yang taat
kepada Allah dan Rasul-Nya; niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam surga
yang mengalir di bawahnya sungai-sungai dan barang siapa yang berpaling niscaya
akan diazab-Nya dengan azab yang pedih. (17)”
Istilah yang sering
digunakan untuk menyebut anak tunadaksa, seperti cacat fisik, cacat tubuh atau
cacat orthopedi. Dalam bahasa asingpun sering kali dijumpai istilah crippled, physically handicapped, physically
disabled dan lain sebagainya. Keragaman istilah yang dikemukakan untuk
menyebutkan tunadaksa tergantung dari kesenangan atau alasan tertentu dari para
ahli yang bersangkutan. Meskipun istilah yang dikemukakan berbeda-beda, namun
secara material pada dasarnya memiliki makna yang sama.
Secara etiologi
Tunadakasa berasal dari kata "Tuna" yang berarti rugi, kurang dan
"daksa" berarti tubuh. Dalam banyak literatur cacat tubuh atau
kerusakan tubuh tidak terlepas dari pembahasan tentang kesehatan sehingga
sering dijumpai judul "Physical and
Health Impairments" (kerusakan atau gangguan fisik dan kesehatan). Hal
ini disebabkan karena seringkali terdapat gangguan kesehatan.
a) Klasifikasi Anak Tunadaksa
Pada dasarnya kelainan
pada anak tunadaksa dapat dikelompokkan menjadi dua bagian besar, yaitu
kelainan pada sistem serebral (Cerebral System) dan kelainan pada sistem otot
dan rangka (Musculus Skeletal System).
(1) Kelainan pada sistem serebral (cerebral system disorders). Penggolongan
anak tunadaksa kedalam kelainan sistem serebral (cerebral) didasarkan pada letak penyebab kelahiran yang terletak
didalam sistem syaraf pusat (otak dan sumsum tulang belakang). Di dalamnya
terdapat pusat kesadaran, pusat ide, pusat kecerdasan, pusat motorik, pusat
sensoris dan lain sebagainya. Kelompok kerusakan bagian otak ini disebut Cerebral Palsy (CP). Cerebral Palsy dapat diklasifikasikan
menurut: (a) derajat kecacatan (b) topograpi anggota badan yang cacat dan (c)
Fisiologi kelainan geraknya.
(a) Penggolongan menurut derajat kecacatan
Menurut derajat
kecacatan, cerebal palsy dapat digolongkan
atas: golongan ringan, golongan sedang, dan golongan berat. Golongan ringan
adalah : mereka yang dapat berjalan tanpa menggunakan alat, berbicara tegas,
dapat menolong dirinya sendiri dalam kehidupan sehari-hari. Mereka dapat hidup
bersama-sama dengan anak normal lainnya, meskipun cacat tetapi tidak mengganggu
kehidupan dan pendidikannya. Golongan sedang : ialah mereka yang membutuhkan treatment/latihan khusus untuk bicara,
berjalan, dan mengurus dirinya sendiri, golongan ini memerlukan alat-alat khusus
untuk membantu gerakannya, seperti brace untuk membantu penyangga kaki,
kruk/tongkat sebagai penopang dalam berjalan. Dengan pertolongan secara khusus,
anak- anak kelompok ini diharapkan dapat mengurus dirinya sendiri. Golongan
berat: anak cerebral palsy golongan ini yang tetap membutuhkan perawatan
dalam ambulasi, bicara, dan menolong dirinya sendiri, mereka tidak dapat hidup
mandiri ditengah-tengah masyarakat.
(b) Penggolongan Menurut Topografi
Dilihat dari topografi
yaitu banyaknya anggota tubuh yang lumpuh, Cerebral Palsy dapat
digolongkan menjadi 6 (enam) golongan yaitu: (a) Monoplegial hanya satu
anggota gerak yang lumpuh misal kaki kiri sedang kaki kanan dan kedua tangannya
normal, (b) Hemiplegia, lumpuh anggota gerak atas dan bawah pada sisi
yang sama, misalnya tangan kanan dan kaki kanan, atau tangan kiri dan kaki
kiri, (c) Paraplegia, lumpuh pada kedua tungkai kakinya. (d) Diplegia,
lumpuh kedua tangan kanan dan kiri atau kedua kaki kanan dan kiri (paraplegia),
(e) Triplegia, tiga anggota gerak mengalami kelumpuhan, misalnya tangan
kanan dan kedua kakinya lumpuh, atau tangan kiri dan kedua kakinya lumpuh, (f) Quadriplegia, anak jenis ini mengalami
kelumpuhan seluruhnya anggota geraknya. Mereka cacat pada kedua tangan dan
kedua kakinya, quadriplegia
disebutnya juga tetraplegia.
(c) Penggolongan menurut Fisiologi, kelainan
gerak dilihat dari segi letak kelainan di otak dan fungsi geraknya (motorik),
anak Cerebral Palsy dibedakan atas:
·
Spastik. Type Spastik
ini ditandai dengan adanya gejala kekejangan atau kekakuan pada sebagian
ataupun seluruh otot. Kekakuan itu timbul sewaktu akan digerakan sesuai dengan
kehendak Dalam keadaan ketergantungan emosional kekakuan atau kekejangan itu
akan makin bertambah, sebaliknya dalam keadaan tenang, gejala itu menjadi berkurang.
Pada umumnya, anak CP jenis spastik ini memiliki tingkat kecerdasan yang tidak
terlalu rendah. Diantara mereka ada yang normal bahkan ada yang diatas normal
·
Athetoid.
Pada tipe ini tidak terdapat kekejangan atau kekakuan. Otot-ototnya dapat digerakan
dengan mudah. Ciri khas tipe ini terdapat pada sistem gerakan. Hampir semua
gerakan terjadi diluar kontrol. Gerakan dimaksud adalah dengan tidak adanya
kontrol dan koordinasi gerak.
·
Ataxia.
Ciri khas tipe ini adalah seakan-akan kehilangan keseimbangan, kekakuan memang
tidak tampak tetapi mengalami kekakuan pada waktu berdiri atau berjalan.
Gangguan utama pada tipe ini terletak pada sistem koordinasi dan pusat
keseimbangan pada otak Akibatnya, anak tuna tipe ini mengalami gangguan dalam
hal koordinasi ruang dan ukuran, sebagai contoh dalam kehidupan sehari-hari :
(a) Pada saat makan mulut terkatup terlebih dahulu sebelum sendok berisi
makanan sampai ujung mulut, (b) Ketika mengambil pensil jatuh, anak melakukan
gerakan yang kasar dengan wajah yang seram dan menjulurkan lidah.
·
Tremor.
Gejala yang tampak jelas pada tipe tremor adalah senantiasa dijumpai adanya
gerakan-gerakan kecil dan terus menerus berlangsung sehingga tampak seperti
bentuk getaran-getaran. Gerakan itu dapat terjadi pada kepala, mata, tangkai
dan bibir. Apabila anak berusaha mengontrol gerakan maka tremornya justu akan
meningkat.
·
Rigid.
Pada tipe ini didapat kekakuan otot, tetapi tidak seperti pada tipe spastik,
gerakannya tampak tidak ada keluwesan, gerakan mekanik lebih tampak.
·
Tipe Campuran.
Pada tipe ini seorang anak menunjukan dua jenis ataupun lebih gejala CP
sehingga akibatnya lebih berat bila dibandingkan dengan anak yang hanya
memiliki satu jenis/tipe kecacatan.
(2) Kelainan pada Sistem Otot dan Rangka (Musculus Scelatel System)
Penggolongan anak
tunadaksa kedalam kelompok system otot dan rangka didasarkan pada letak
penyebab kelainan anggota tubuh yang mengalami kelainan yaitu: kaki, tangan dan
sendi, dan tulang belakang. Jenis-jenis kelainan sistem otak dan rangka antara
lain meliputi:
(a) Poliomylitis
Penderita polio adalah
mengalami kelumpuhan otot sehingga otot akan mengecil dan tenaganya melemah,
peradangan akibat virus polio yang menyerang sumsum tulang belakang pada anak
usia 2 (dua) tahun sampai 6 (enam) tahun.
(b) Muscle
Dystrophy
Anak mengalami
kelumpuhan pada fungsi otot. Kelumpuhan pada penderita muscle dystrophy
sifatnya progressif, semakin hari semakin parah. Kondisi kelumpuhannya bersifat
simetris yaitu pada kedua tangan atau kedua kaki saja. Penyebab terjadinya muscle
distrophy belum diketahui secara pasti. Tanda-tanda anak menderita muscle
dystrophy baru kelihatan setelah anak berusia 3 (tiga) tahun melalui gejala
yang tampak yaitu gerakan-gerakan anak lambat, semakin hari keadaannya semakin
mundur jika berjalan sering terjatuh tanpa sebab terantuk benda, akhirnya anak
tidak mampu berdiri dengan kedua kakinya dan harus duduk di atas kursi roda.
b) Karakteristik Anak Tuna Daksa
Derajat keturunan akan
mempengaruhi kemanpuan penyesuaian diri dengan lingkungan, kecenderungan untuk
bersifat pasif. Demikianlah pada halnya dengan tingkah laku anak tunadaksa
sangat dipengaruhi oleh jenis dan derajat keturunannya. Jenis kecacatan itu
akan dapat menimbulkan perubahan tingkah laku sebagai kompensasi akan
kekurangan atau kecacatan.
Ditinjau dari aspek
psikologis, anak tunadaksa cenderung merasa malu, rendah diri dan sensitif,
memisahkan diri dari lingkungan. Disamping karakteristik tersebut terdapat
beberapa problema penyerta bagi anak tunadaksa antara lain:
(1) Kelainan perkembangan/intelektual
(2) Gangguan pendengaran
(3) Gangguan penglihatan
(4) Gangguan taktl dan kinestetik
(5) Gangguan persepsi
(6) Gangguan emosi.
d.
Tunagrahita
Anak tunagrahita
adalah anak yang mempunyai kekurangan atau keterbatasan dari segi mental
intelektualnya, di bawah rata-rata normal, sehingga mengalami kesulitan dalam
tugas-tugas akademik, komunikasi, maupun sosial, dan karena memerlukan layanan
pendidikan khusus.
Potensi dan
kemampuan setiap anak berbeda-beda demikian juga dengan anak tunagrahita, maka
untuk kepentingan pendidikannya, pengelompokkan anak tunagrahita sangat
diperlukan. Pengelompokkan itu berdasarkan berat ringannya ketuanaannya, atas
dasar itu anak tunagrahita dapat dikelompokkan.
1) Tunagrahita Ringan, pada umumnya tampang
atau kondisi fisiknya tidak berbeda dengan anak pada umumnya. Mereka mempunyai
IQ antara kisaran 50 s/d 70. Mereka masih bisa dididik (diajarkan) membaca,
menulis, berhitung, anak tunagrahita ringan akan lebih mudah ikut belajar
dengan teman-teman seusianya dengan menerapkan fleksibilitas kurikulum.
2) Tunagrahita Sedang, tampang atau kondisi
fisiknya sudah dapat terlihat, tetapi ada sebagian anak tunagrahita yang
mempunyai fisik normal. Kelompok ini mempunyai IQ antara 30 s/d 50. Mereka
biasanya menyelesaikan pendidikan setingkat kelas II SD umum jika menggunakan
kurikulum umum yang tanpa fleksibilitas.
3) Tunagrahita Berat, kelompok ini termasuk
yang sangat rendah intelegensinya sehingga sangat sulit untuk menerima
pendidikan secara akademis. Anak tunagrahita berat memerlukan perawatan dari
orang lain. IQ mereka rata-rata 30 kebawah. Dalam kegiatan sehari-hari mereka
membutuhkan bantuan orang lain.
Karakteristik
atau ciri-ciri anak tunagrahita dapat dilihat dari segi:
1) Fisik (Penampilan)
a) Hampir sama dengan anak normal
b) Kematangan motorik lambat
c) Koordinasi gerak kurang
d) Anak tunagrahita berat dapat kelihatan
2) Intelektual
b) Anak tunagrahita ringan, kemampuan
belajarnya paling tinggi setaraf anak normal usia 12 tahun dengan IQ antara 50
- 70.
c) Anak tunagrahita sedang kemampuan
belajarnya paling tinggi setaraf anak normal usia 7,8 tahun IQ antara 30 – 50.
d) Anak tunagrahita berat kemampuan
belajarnya setaraf anak normal usia 3-4 tahun, dengan IQ 30 ke bawah.
e) Pada hasil observasi anak terlihat
berbakat dalam hal seni
3) Sosial dan Emosi
a) Bergaul dengan seseorang yang sudah
dekat dengannya.
b) Suka menyendiri
c) Mudah dipengaruhi
d) Kurang dinamis
e) Kurang pertimbangan/kontrol diri
f) Kurang konsentrasi
g) Mudah dipengaruhi
h) Tidak dapat memimpin dirinya maupun
orang lain.
e.
Lamban Belajar (Slow Learner)
Keterbatasan anak
lamban belajar:
1) Rata-rata perstasi belajarnya selalu
rendah
2) Terlambat dalam menyelesaikan tugas
akademik
3) Daya tangkap pembelajaran lambat
Kebutuhan pembelajaran
antara lain:
1) Berikan waktu lebih lama daripada yang
lain
2) Telaten dan sabar, guru hendaknya tidak
terlalu cepat memberikan materi pelajaran
3) Perbanyak latihan daripada hafalan
4) Diperbanyak kegiatan remedial
f.
Anak Berbakat
Anak berbakat adalah
mereka yang karena memiliki kemampuan- kemampuan yang unggul mampu memberikan
prestasi yang tinggi. Anak berbakat memerlukan pelayanan pendidikan khusus
untuk membantu mereka mencapai prestasi sesuai dengan bakat-bakat mereka yang
unggul.
Karakteristik Anak
berbakat, Sudah sejak dulu para ahli membahas dan meneliti ciri-ciri orang berbakat.
Berdasarkan hasil pengamatan dan penelitian mereka disusun daftar ciri-ciri
anak berbakat, yang satu lebih lengkap dan terperinci daripada yang lain.
Martinson (1974)
mendaftar ciri-ciri anak berbakat sebagai berikut:
1)
Membaca
lebih cepat dan lebih banyak
2)
Membaca
pada usia lebih muda
4)
Mempunyai
rasa ingin tahu yang kuat
5)
Mempunyai
minat yang luas, juga terhadap masalah "dewasa"
6)
Mempunyai
inisiatif, dapat bekerja sendiri
7)
Menunjukkan
keaslian (orisinalitas) dalam ungkapan verbal
8)
Memberi
jawaban-jawaban yang baik
9)
Dapat
memberikan banyak gagasan
10)
Luwes
dalam berpikir
11)
Terbuka
terhadap rangsangan-rangsangan dari lingkungan
12)
Mempunyai
pengamatan yang tajam
13)
Dapat
berkonsentrasi untuk jangka waktu panjang, terutama terhadap tugas atau bidang
yang diminati
14)
Berpikir
kritis, juga terhadap diri sendiri
15)
Senang
mencoba hal-hal baru
16) Mempunyai daya abstraksi,
konseptualisasi, dan sintesis yang tinggi
17)
Senang
terhadap kegiatan intelektual dan pemecahan masalah
18)
Cepat
menangkap hubungan-hubungan (sebab akibat)
19)
Berperilaku
terarah kepada tujuan
20)
Mempunyai
daya imajinasi yang kuat
21)
Mempunyai
banyak kegemaran (hobi)
22)
Mempunyai
daya ingat yang kuat
23)
Tidak
cepat puas dengan prestasinya
24)
Peka
(sensitif) dan menggunakan firasat (intuisi)
25)
Menginginkan
kebebasan dalam gerakan dan tindakan.
Sebenarnya ciri-ciri
anak berbakat tidak banyak berbeda dari anak biasa, hanya anak berbakat
memiliki ciri-ciri tersebut dalam derajat yang lebih tinggi.
g.
Anak Berkesulitan Belajar Spesifik
Definisi yang dikemukakan
The National Joint Committeefor Learning
Disability (NJCLD) yang mengemukakan bahwa "Kesulitan belajar menunjuk
pada sekelompok kesulitan yang dimanifestasikan dalam bentuk kesulitan yang
nyata dalam kemahiran dan penggunaan kemampuan mendengarkan, bercakap-cakap,
membaca, menulis, bernalar, atau kemampuan dalam bidang studi matematik.
Gangguan tersebut instrinsik dan diduga disebabkan oleh adanya disfungsi sitem
syaraf pusat. Meskipun suatu kesulitan belajar mungkin terjadi bersamaan dengan
adanya kondisi lain yang mengganggu (seperti; gangguan sensoris, tunagrahita,
hambatan social dan ekonomi) atau berbagai pengaruh lingkungan (misalnya
perbedaan budaya, pembelajaran yang tidak tepat, faktor-faktor psikogenik)
berbagai hambatan tersebut bukan penyebab atau pengaruh langsung.
Dari uraian di atas
dapat dikatakan bahwa kesulitan belajar atau learning disabilities merupakan istilah generic yang merujuk kepada
keragaman kelompok-kelompok yang mengalami gangguan dimana gangguan tersebut
diwujudkan dalam kesulitan-kesulitan yang signifikan yang dapat menimbulkan
gangguan proses belajar.
1) Karakteristik Anak Berkesulitan Belajar
Anak berkesulitan belajar
spesifik terdiri dari:
a) Kesulitan belajar menulis (Disgraphia).
(1) Jarang menikmati pekerjaan menulis dan
berespons negatif pada kegiatan menulis.
(2) Ide tidak mudah diekpresikan dan ditulis
dengan baik
(3) Tulisan tangan tidak mudah dibaca
(4) Mengalami kesulitan ketika menyalin
instruksi dari papan tulis, bicara dan tulisan di kertas
(5) Jarang menyelesaikan tugas menulis
(6) Lemah dalam mengeja
(7) Pekerjaan menulis kurang terorganisasi
dan sulit diikuti
(8) Huruf dan kata sering berlawanan atau
terbalik
(9) Lemah dalam tata bahasa atau tanda baca
sering hilang j) Ide menulis tidak menyatu dan terarah
(10) Pekerjaan menulis sering sulit dimengerti
b) Kesulitan belajar membaca (Disleksia)
(1) Bingung dengan kata-kata dan huruf
(2) Sering kehilangan letak ketika membaca,
menggunakan jejak tangan
(3) Kesulitan ketika membaca diam, perlu
menggunakan mulut atau berbisik saat membaca
(4) Keterampilan memprediksi lemah
(5) Tidak senang membaca
(6) Pembaca yang enggan
(7) Membaca dengan lambat dan hati-hati
(8) Banyak kata yang diganti, dihapus dan
dikarang/dibuat buat
(9) Tidak dapat membaca sepintas atau
menatap sejenak berkenaan dengan informasi
(10) Tidak dapat menceritakan kembali bagian
dari sebuah cerita.
c) Kesulitan belajar matematika (Diskalkulia)
(1) Sulit membedakan tanda-tanda: +, -, x,
:, >, <, =
(3) Sering salah membilang dengan urut,
(4) Sulit membedakan bangun-bangun geometri,
(5) Sering salah membedakan angka 9 dengan
6; 17 dengan 71, 2 dengan 5,3 dengan 8, dan sebagainya,
2) Karakteristik akademik
Ditemukan
bahwa kemiripan kondisi psikologis (gangguan persepsi dan konsentrasi) dan
kondisi neurologis (gangguan keseimbangan dan motorik halus) dapat melahirkan
perbedaan dalam karakteristik akademik, dan sebaliknya kemiripan karakteristik
akademik yang ditampilkan kasus dapat disebabkan oleh kondisi neurologis dan
psikologis yang berbeda.
Temuan
di atas mengisyaratkan bahwa karakteristik akademik yang ditampilkan anak LD
sifatnya khas untuk masing-masing anak, tergantung pada berbagai faktor yang
mengitarinya.
3) Karakteristik psikologis dan sosial
Ditemukan bahwa karakteristik psikologis
anak LD yang memiliki inteligensi di atas rata-rata cukup bervariasi. Namun,
ditemukan beberapa kecenderungan menarik, yaitu:
a) Memiliki daya tangkap yang bagus, tetapi
cenderung hiperaktif dan kurang mampu menyeuaikan diri.
b) Memiliki daya imaginatif yang tinggi,
tetapi cenderung emosional.
c) Mampu mengambil keputusan dengan cepat,
tetapi cenderung kurang disertai pertimbangan yang matang, terburu-buru,
semaunya.
d) Lebih cepat dalam belajar dan
mengerjakan suatu persoalan, tetapi cenderung malas dan memiliki toleransi yang
rendah terhadap frustrasi.
h.
Tunalaras
Terlepas dari julukan yang
diberikan kepada para tunalaras, secara substansial kesamaan makna yang
terdapat pada pemberian "gelar" pada anak tuna laras, disamping
menunjuk pada cirinya, yaitu terdapatnya penyimpangan perilaku sebagai
pelanggaran terhadap peraturan/ norma yang berlaku dilingkungannya, juga akibat
dari perbuatan yang dilakukannya dapat merugikan diri sendiri maupun orang
lain, ...a behavior deviation is that behavior
ofa child wich; (i) has a detrimental effect on his development and adjustment
and/or (ii) interferers with the lives of other people. Menurut ketentuan
Undang-Undang Pokok Pendidikan No. 12 Tahun 1952, anak tuna laras adalah
individu yang mempunyai tingkah laku menyimpang/berkelainan, tidak memiliki
sikap, melakukan pelanggaran terhadap peraturan/norma-norma sosial dengan
frekuensi cukup besar, tidak/kurang mempunyai toleransi terhadap kelompok dan
orang lain, serta mudah terpengaruh suasana, sehingga membuat kesulitan bagi
diri sendiri maupun orang lain.
Dari uraian diatas,
dapat disimpulkan bahwa seseorang yang diidentifikasikan mengalami gangguan
atau penyimpangan perilaku adalah individu yang:
1) Tidak mampu mendefinisikan dengan tepat
kesehatan mental dan perilaku yang normal
2) Tidak mampu mengukur emosi dan
perilakunya sendiri
3) Mengalami kesulitan dalam menjalankan
fungsi sosialisasi.
Beberapa komponen yang
penting diperhatikan dalam menilai seorang anak mengalami gangguan emosi/
perilaku atau tidak, yaitu:
1) Adanya penyimpangan perilaku yang terus
menerus menurut norma yang berlaku sehingga menimbulkan ketidakmampuan belajar
dan penyesuaian diri.
2) Penyimpangan itu tetap ada walaupun
telah menerima layanan belajar serta bimbingan.
Karakteristik Anak Tuna
Laras
Karakteristik yang
dikemukakan Hallahan dan kauffman (1986) berdasarkan dimensi tingkah laku anak
tuna laras adalah sebagai berikut:
1) Anak yang mengalami gangguan perilaku
seperti: berkelahi, memukul menyerang, mementingkan diri sendiri, pemarah, pembangkang,
suka merusak, kurang ajar, tidak sopan, penentang, tidak mau bekerjasama, suka
menggangu, suka ribut, pembolos, mudah marah, Suka pamer, hiperaktif,
pembohong, iri hati, pembantah, ceroboh, pengacau, suka menyalahkan orang lain.
2) Anak yang mengalami kecemasan dan
menyendiri, seperti:
a) Cemas
b) Tegang
c) Tidak punya teman
d) Tertekan
e) Sensitif
f) Rendah diri
g) Mudah frustasi
h) Pendiam
i)
Mudah
bimbang
3) Anak yang kurang dewasa, seperti:
a) Pelamun
b) Kaku
c) Pasif
d) Mudah dipengaruhi
e) Pengantuk
f) Pembosan
4) Anak yang agresif bersosialisasi,
seperti:
a) Mempunyai komplotan jahat
b) Berbuat onar bersama komplotannya
c) Membuat genk
d) Suka diluar rumah sampai larut
e) Bolos sekolah
f) Pergi dari rumah
Selain karakteristik
diatas, berikut ini karakteristik yang berkaitan dengan segi akademik, sosial/
emosional dan fisik/ kesehatan anak tuna laras.
1) Karakteristik Akademik
Kelainan perilaku
mengakibatkan penyesuaian sosial dan sekolah yang buruk. Akibatnya, dalam
belajarnya memperlihatkan ciri-ciri sebagai berikut:
a) Hasil belajar dibawah rata-rata
b) Sering berurusan dengan guru BK
c) Tidak naik kelas
d) Sering membolos
e) Sering melakukan pelanggaran, baik
2) Karakteristik Sosial/ Emosional
Karakteristik sosial/
emosional tuna laras dapat dijelaskan sebagai berikut:
a) Karakteristik Sosial
(1) Masalah yang menimbulkan gangguan bagi
orang lain:
(a) Perilaku itu tidak diterima masyarakat,
biasanya melanggar norma budaya
(b) Perilaku itu bersifat menggangu, dan
dapat dikenai sanksi oleh kelompok sosial
(2) Perilaku itu ditandai dengan tindakan
agresif, yaitu:
(a) Tidak mengikuti aturan. Bersifat
mengganggu
(b) Bersifat membangkang dan menentang
(c) Tidak dapat bekerjasama
(d) Melakukan tindakan yang melanggar hukum
dan kejahatan remaja
b) Karakteristik Emosional
(1) Hal-hal yang menimbulkan penderitaan
bagi anak, misalnya tekanan batin dan rasa cemas
(2) Ditandai dengan rasa gelisah, rasa malu,
rendah diri, ketakutan dan sifat perasa / sensitive
i.
Autisme
Autisma berasal dari
kata auto berarti sendiri. Penyandang autisma seperti hidup di dunianya
sendiri.
Indikator Perilaku
(Gejala) Autisma Masa Anak-Anak
1) Bahasa/komunikasi
a) Ekspresi wajah yang datar
b) Tidak menggunakan bahasa /isyarat tubuh
c) Jarang memulai komunikasi
d) Tidak meniru aksi/suara
e) Bicara sedikit atau tak ada/ mungkin
cukup ferbal
f) Mengulangi (membeo kata-kata, kalimat
atau nyanyian
g) Intonasi/ritme vokal yang aneh
h) Tampak tidak mengerti arti kata
i)
Mengerti
& menggunakan kata secara terbatas
2) Hubungan dengan orang lain
a) Tidak responsif
b) Taka ada senyum sosial
c) Tak berkomunikasi dengan mata
d) Kontak mata terbatas
e) Tampak asyik bila dibiarkan sendiri
f) Tidak melakukan permainan giliran
g) Menggunakan tangan orang dewasa sebagai
alat
3) Hubungan dengan lingkungan
a) Bermain repetitif (diulang-ulang)
b) Marah atau tak menghendaki
perubahan-perubahan
c) Berkembangnya rutinitas yang kaku
d) Memeperlihatkan ketertarikan yang sangat
dan tak fleksibel
4) Respon terhadap rangsangan
indera/sensoris
a) Kadang seperti tuli
b) Panik terhadap suara tertentu
c) Sangat sensitif terhadap suara
d) Bermain dengan cahaya atau pantulan
e) Memainkan jari-jari di depan mata
f) Menarik diri ketika disentuh
g) Sangat tidak suka terhadap pakaian atau
makanan tertentu
h) Tertarik pada pola/tekstur/ bau tertentu
i)
Sangat
inaktif atau hiperaktif
j)
Mungkin
memutar-mutar, berputar-putar, membentur kepala, menggigit pergelangan
k) Melompat-lompat atau mengepakkan tangan
l)
Tahan
atau berespon aneh terhadap nyeri.
5) Kesenjangan perkembangan perilaku
a) Kemampuan mungkin sangat baik atau
sangat terlambat
b) Mempelajari keterampialan di luar urutan
normal (membaca tapi tak mengerti arti)
c) Mengganbar secara rinci tapi tak bisa
mengancing baju
d) Pintar mengerjakan puzle tapi sulit
mengikuti perintah
e) Berjalan pada usia normal, tetapi tidak
berkomunikasi
f) Lancar membeo bicara tapi sulit bicara
dari diri sendiri
g) Suati waktu dapat mengerjakan sesuatu,
tetapi tidak pada lain waktu.
j.
ADHD (Attention
Deficit Diperatif Desorder)
Definisi ADHD adalah
kondisi anak yang memperlihatkan ciri atau gejala kurang konsentrasi,
hiperaktif dan impulsive yang dapat menyebabkan ketidak seimbangan sebagian
besar aktifitas hidupnya. Karakteristik ADHD seperti:
1) Rentang perhatian yang kurang
2) Impulsif yang berlebihan
3) Hiperaktif
4) Gejala perhatian yang kurang
a) Gerakan yang kacau
b) Cepat lupa
c) Mudah bingung
d) Sulit mencurahkan perhatian terhadap
tugas
5) Gejal impulsive dan perilaku hiperaktif
seperti:
a) Emosi gelisah
b) Kesulitan bermain dengan tenang
c) Mengganggu anak lain
d) Selalu bergerak.[14]
G. Simpulan dan Saran
1. Simpulan
Berdasarkan pemaparan
tentang difabilitas dalam perspektif Al-Qur’an, dapat diambil simpulan sebagai
berikut
a. Difabel merupakan suatu keadaan berbeda
yang terjadi kepada seseorang baik itu dari segi fisik, mental dan emosi dari
kebanyakan orang lainnya, banyak faktor yang menyebabkan seseorang bisa menjadi
penyandang disabilitas, serta masing-masing penyandang memiliki karakteristik
yang berbeda antara satu dengan yang lainnya.
b. Al-Qur’an memaparkan mengenai disabilitas,
bukanlah sebuah pembeda, karena dalam ajaran Islam tidak ada perbedaan antara
manusia yang satu dengan yang lainnya kecuali ketaqwaannya kepada Rabb-nya.
2. Saran
Sehubungan dengan hasil
penyusunan laporan penelitian ini, maka penyusun menyadari bahwa masih banyak
kekurangan dalamnya, maka diharapkan kiritik dan sarannya untuk bisa lebih
membangun hasil yang lebih baik dari laporan ini. Tidak menutup kemungkinan
pula untuk dilakukan penelitian lanjutan yang berkenaan dengan hal ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Khioriyah, Rif’atul.
2015. Skripsi. Difabilitas dalam Al-Qur’an, Semarang. UIN Walisongo.
Smith, J. David. Inclusion, School for All Stundent, diterjemahkan oleh Denis, Ny. Enrica.
2012. Sekolah Inklusif: Konsep dan
Penerapan Pembelajaran. Bandung: PENERBIT NUANSA.
-------------------
2014. Inclusion, School for All Stundent, diterjemahkan oleh Denis, Ny. Enrica. Sekolah Inklusif: Konsep dan Penerapan
Pembelajaran. Bandung. PENERBIT NUANSA CENDIKIA. cet. V.
Asyhabuddin. Jurnal.
2008. Difabilitas dan Pendidika Inklusif
Purwokerto. INSANIA.
Shihab, M. Quraish.
2011. Tafsir Al-Mishbah, Jakarta. Penerbit Lentera Hati. cet. IV, Vol.
15.
Shihab, M. Quraish.
2009. Tafsir Al-Mishbah. Jakarta. Penerbit Lentera Hati. cet. II, Vol.
12.
Yuwono, Imam &
Utomo. 2016. Pendidikan Inklusif:
Paradigma Pendidikan Ramah Anak. Banjarmasin. Penerbit Pustaka Banua. cet.
II.
Syaikh, Syaikh Shalih bin Abdul
Aziz Alusy. 2015. Tafsir Muyassar. Solo. An-Naba’.jilid 1. cet. IV.
[1]Skripsi, Rif’atul
Khioriyah, Difabilitas dalam Al-Qur’an,
(Semarang: UIN Walisongo, 2015), hal. 95-96.
[2]J. David Smith, Inclusion, School for All Stundent, diterjemahkan oleh Denis, Ny. Enrica, Sekolah Inklusif: Konsep dan Penerapan
Pembelajaran, (Bandung: PENERBIT NUANSA, 2012), cet. III, 32. Lihat juga J.
David Smith, Inclusion, School for All Stundent, diterjemahkan
oleh Denis, Ny. Enrica, Sekolah Inklusif:
Konsep dan Penerapan Pembelajaran, (Bandung: PENERBIT NUANSA CENDIKIA,
2014), cet. V, 32.
[3]Skripsi, Rif’atul
Khioriyah, Difabilitas dalam Al-Qur’an,
hal. 18.
[4]Jurnal, Asyhabuddin, Difabilitas dan Pendidika Inklusif,
(Purwokerto: INSANIA, 2008), hal. 3.
[5]Skripsi, Rif’atul
Khioriyah, Difabilitas dalam Al-Qur’an,
hal. 36-43.
[6]M. Quraish Shihab, Tafsir
Al-Mishbah, (Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2011), cet. IV, Vol. 15, hal.
70-71.
[7]M. Quraish Shihab, Tafsir
Al-Mishbah, (Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2009), cet. II, Vol. 12, hal.
535-536.
[8]Imam Yuwono & Utomo, Pendidikan Inklusif: Paradigma Pendidikan
Ramah Anak, (Banjarmasin: Penerbit Pustaka Banua, 2016), cet. II, hal.
59-60.
[9]Syaikh Shalih bin Abdul
Aziz Alusy Syaikh, Tafsir Muyassar, (Solo: An-Naba’, 2015), jilid 1,
cet. IV, hal. 13.
[10]M. Quraish Shihab, Tafsir
Al-Mishbah, (Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2011), cet. IV, Vol. 1, hal. 136-137.
[12]M. Quraish Shihab, Tafsir
Al-Mishbah, (Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2011), cet. IV, Vol. 1, hal. 460-461.
[13]Imam Yuwono & Utomo, Pendidikan Inklusif: Paradigma Pendidikan
Ramah Anak, (Banjarmasin: Penerbit Pustaka Banua, 2016), cet. II, hal.
60-62.
[14]Imam Yuwono & Utomo, Pendidikan Inklusif: Paradigma Pendidikan
Ramah Anak, (Banjarmasin: Penerbit Pustaka Banua, 2016), cet. II, hal. 62-80.
Komentar
Posting Komentar