Tafsir Q.S. An-Nahl ayat 125 dan Q.S. Al-A'raaf ayat 176-177
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Makalah
ini kami tujukan khususnya untuk para mahasiswa/i yang tidak lain adalah
sebagai calon guru penerus generasi bangsa, agar kita mengetahui bagaimana
metode yang tepat dalam pendidikan guna mendukung keberhasilan dalam
pendidikan. Untuk memenuhi tujuan terciptanya sumber daya manusia yang berkualitas.
Dalam
makalah ini kami menyampaikan bagaimana cara yang baik dalam melaksanakan
pendidikan sesuai dengan metode-metode yang bersumber dari al-Qur’an. Karena
sesungguhnya pendidikan yang baik adalah pendidikan yang bersumber dari
al-Qur’an dan Hadist.
B. Tujuan
Penulisan
1. Sebagai
media sosialisasi dan informasi tentang bagaimana metode yang tepat dalam
pendidikan menurut al-Qur’an.
2. Untuk
mengetahui metode-metode yang digunakan dalam pendidikan yang terdapat dalam
Surah an-Nahl, 16: 125 dan Surah al-A’raaf, 7: 176-177.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Tafsir
Surat An-Nahl, 16 : 125
ٱدۡعُ
إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِٱلۡحِكۡمَةِ وَٱلۡمَوۡعِظَةِ ٱلۡحَسَنَةِۖ وَجَٰدِلۡهُم
بِٱلَّتِي هِيَ أَحۡسَنُۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعۡلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِۦ
وَهُوَ أَعۡلَمُ بِٱلۡمُهۡتَدِينَ ١٢٥
”Serulah (manusia) kepada jalan
Tuhanmu dengan hikmah, dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara
yang baik. Seungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang
tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang
mendapat petunjuk.” (Q.S. An-Nahl, 16 : 125)
Potongan ayat yang berbunyi :
ٱدۡعُ
إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ
Maksudnya adalah serulah
ummatmu wahai para Rasul dengan seruan agar mereka melaksanakan syari’at yang
telah ditetapkannya berdasarkan wahyu yang telah diturunkannya, dengan melalui
ibarat dan nasehat yang terdapat dalam Kitab yang diturunkan-Nya. Dan hadapilah
mereka dengan cara yang lebih baik dari lainnya sekalipun mereka menyakitimu,
sadarkanlah mereka dengan cara yang baik.[1]
Nabi Muhammad saw. yang
diperintahkan untuk mengikuti Nabi Ibrahim as. Sebagaimana terbaca pada ayat
yang lalu, kini diperintahkan lagi untuk mengajak siapapun agar mengikuti pula
prinsip-prinsip ajaran Bapak para Nabi dan Pengumandang Tauhid itu. Ayat ini
menyatakan: Wahai Nabi Muhammad, serulah, yakni lanjutkan
usahamu untuk menyeru semua yang engkau sanggup seru kepada jalan yang ditunjukkan Tuhanmu,
yakni ajaran Islam dengan hikmah dan
pengajaran yang baik dan bantahlah mereka, yakni siapapun yang menolak atau
meragukan ajaran Islam dengan cara yang
terbaik. Itulah ketiga cara berdakwah yang hendaknya engkau tempuh
menghadapi manusia yang beraneka ragam peringkat dan kecenderungannya; jangan hiraukan cemoohan, atau tuduhan-tuduhan tidak berdasar
kaum musyrikin dan serahkan urusanmu dan urusan mereka pada Allah, karena sesungguhnya Tuhanmu yang selalu
membimbingmu dan berbuat baik kepadamu Dialah
sendiri yang lebih mengetahui dari
siapapun yang menduga tahu tentang siapa
yang bejat jiwanya sehingga tersesat
dari jalan-Nya dan Dialah saja
juga yang lebih mengetahui orang-orang
yang sehat jiwanya sehingga mendapat
petunjuk.
Ayat ini dipahami oleh sementara
ulama sebagai menjelaskan tiga macam metode dakwah yang harus disesuaikan
dengan sasaran dakwah. Terhadap cendekiawan yang
memiliki pengetahuan tinggi diperintahkan menyampaikan dakwah dengan hikmah, yakni berdialog dengan kata-kata
bijak sesuai dengan tingkat kepandaian mereka. Terhadap kaum awam diperintahkan
untuk menerapkan mau’izhah, yakni
memberikan nasehat dan perumpamaan yang menyentuh jiwa sesuai dengan taraf
pengetahuan mereka yang sederhana. Sedang terhadap Ahl al-Kitab dan penganut agama-agama lain yang diperintahkan
adalah jidal / perdebatan dengan cara yang terbaik yaitu dengan logika dan
retorika yang halus, lepas dari kekerasan dan umpatan.
Kata hikmah antara lain berarti yang paling utama dari sesuatu, baik
pengetahuan maupun perbuatan. Ia adalah pengetahuan atau tindakan
yang bebas dari kesalahan atau kekeliruan. Hikmah juga diartikan
sebagai sesuatu yang bila digunakan /
diperhatikan akan mendatangkan kemaslahatan dan kemudahan yang besar atau lebih
besar, serta menghalangi terjadinya mudharat atau kesulitan yang besar atau
lebih besar. Makna ini ditarik dari kata hakamah,
yang berarti kendali menghalangi
hewan / kendaraan mengarah kearah yang tidak diinginkan atau menjadi liar.
Memilih perbuatan yang terbaik dan sesuai adalah perwujudan dari hikmah. Memilih
yang terbaik dan sesuai dari dua hal yang burukpun dinamai hikmah, dan pelakunya dinamai hakim (bijaksana). Siapa yang tepat dalam penilaiannya dan dalam
pengaturannya, dialah yang wajar menyandang sifat ini atau dengan kata lain dia
yang hakim. Thahir Ibn ‘Asyur menggarisbawahi
bahwa hikmah adalah nama himpunan
segala ucapan atau pengetahuan yang mengarah pada perbaikan keadaan dan
kepercayaan manusia secara bersinambung. Thabathaba’i mengutip ar-Raghib
al-Ashfahani yang menyatakan secara singkat bahwa hikmah adalah sesuatu yang
mengena kebenaran berdasarkan ilmu dan akal. Dengan demikian, menurut
Thabathaba’i, hikmah adalah argumen
yang menghasilkan kebenaran yang tidak diragukan, tidak mengandung kelemahan
tidak juga kekaburan.
Pakar tafsir al-Biqa’i
menggarisbawahi bahwa al-Hakim, yakni
yang memiliki hikmah, harus yakin sepenuhnya tentang pengetahuan dan tindakan yang
diambilnya, sehingga dia tampil dengan penuh percaya diri, tidak berbicara
dengan ragu, atau kira-kira dan tidak pula melakukan sesuatu dengan coba-coba.
Kata al-Mau’izhah terambil dari kata wa’azha yang berati nasihat. Mau’izhah adalah
uraian yang menyentuh hati yang mengantar
kepada kebaikan. Demikian dikemukakan oleh banyak ulama. Sedang kata jadilhum terambil dari kata jidal yang bermakna diskusi atau bukti-bukti yang mematahkan alasan atau dalih mitra
diskusi dan menjadikannya tidak dapat bertahan, baik yang dipaparkan itu
diterima oleh semua orang maupun hanya oleh mitra bicara.
Ditemukan diatas, bahwa mau’izhah
hendaknya disampaikan dengan hasanah
/ baik, sedangkan perintah berjidal disifati dengan kata ahsan / yang terbaik, bukan sekedar yang baik. Keduanya berbeda
dengan hikmah yang tidak disifati
oleh satu sifatpun. Ini berarti bahwa mau’izhah ada yang baik dan ada yang
tidak baik, sedang jidal ada tiga
macam, yang baik, yang terbaik, dan yang buruk.
Hikmah tidak perlu
disifati dengan sesuatu kerena dari maknanya telah diketahui bahwa ia adalah sesuatu yang mengena kebenaran berdasar ilmu
dan akal-seperti tulis ar-Raghib, atau seperti tulis Ibn ‘Asyur, ia
adalah segala ucapan atau pengetahuan
yang mengarah kepada perbaikan keadaan dan kepercayaan manusia secara
bersinambung. Disisi lain, hikmah
yang disampaikan itu adalah yang dimiliki oleh sesorang hakim yang dilukiskan maknanya oleh al-Biqa’i seperti penulis nukil
diatas, dan ini tentu saja akan disampaikannya setepat mungkin, sehingga tanpa
menyifatinya dengan satu sifatpun, otomatis dari namanya dan sifat
penyandangnya dapat diketahui bahwa penyampaiannya pastilah dalam bentuk yang
paling sesuai.
Adapun mau’izhah,
maka ia baru dapat mengena hati sasaran bila ucapan yang disampaikan itu
disertai dengan pengamalan dan keteladanan dari yang menyampaikannya. Nah,
inilah yang bersifat hasanah kalau
tidak, ia adalah yang buruk, yang seharusnya dihindari. Disisi lain,
karena mau’izhah biasanya bertujuan
mencegah sasaran dari sesuatu yang kurang baik, dan ini dapat mengundang
emosi-baik dari menyampaikan, lebih-lebih yang menerimanya-maka mau’izhah sangat perlu untuk
mengingatkan kebaikannya itu.
Sedang jidal terdiri dari tiga macam, yang
buruk adalah disampaikan dengan kasar, yang mengundang kemarahan lawan
serta yang menggunakan dalih-dalih yang tidak benar. Yang baik adalah yang disampaikan dengan sopan, serta menggunakan
dalil-dalil atau dalih walau hanya yang diakui oleh lawan, tetapi yang terbaik adalah yang disampaikan dengan baik, dan dengan
argumen yang benar, lagi membungkam lawan.
Penyebutan urutan ketiga macam
metode itu sungguh serasi. Ia dimulai dengan hikmah yang dapat disampaikan tanpa syarat, disusul dengan mau’izhah dengan syarat hasanah, karena memang ia hanya terdiri
dari 2 macam, dan yang ketiga adalah jidal
yang dapat terdiri dari tiga macam buruk, baik, dan terbaik, sedang dianjurkan
adalah yang terbaik.
Tidak dapat dipungkiri bahwa
Al-Qur’an, demikian juga cara berdakwah Nabi Muhammad saw., mengandung ketiga
metode diatas. Ia diterapkan kepada siapa pun sesuai dengan kondisi
masing-masing sasaran.
Diatas telah dikemukakan bahwa
sementara ulama membagi ketiga metode ini sesuai dengan tingkat kecerdasan
sasaran dakwah. Yakni cendekiawan, yang memiliki kemampuan berpikir yang tinggi
diajak dengan hikmah. Adapun orang awam yang belum mencapai tingkat
kesempurnaan akal, tidak juga telah terjerumus dalam kebejatan moral, maka
mereka disentuh dengan mau’izhah.
Sedang penganut agama lain dengan jidal.
Pendapat ini tidak disepakati oleh ulama. “bisa saja ketiga cara ini dipakai
dalam satu situasi/sasaran, dikali lain hanya dua cara, atau satu,
masing-masing sesuai sasaran yang dihadapi. Bisa saja cendekiawan tersentuh
oleh mau’izhah, dan tidak mustahil
pula orang-orang awam memperoleh manfaat dari jidal dengan yang terbaik.”
Demikian Thabathaba’i, salah seorang ulama yang menolak penerapan metode dakwah
itu terhadap tingkat kecerdasan sasaran.
Thahir Ibn ‘Asyur yang berpendapat
serupa dan menyatakan bahwa jidal
adalah bagian dari hikmah dan mau’izhah. Hanya saja, tulisnya, karena
tujuan jidal adalah meluruskan tingkah laku atau pendapat,
sehingga sasaran yang dihadapi menerima kebenaran, maka kendati ia tidak
terlepas dari hikmah atau mau’izhah, ayat ini menyebutnya secara
tesendiri berdampingan dengan keduanya dengan mengingat tujuan dari jidal itu.
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah,
dan pelajaran yang baik,” ajaklah
hai Muhammad umat manusia kepada agama dan syariat Allah swt. yang suci dengan
metode yang bijak, halus dan lemah lembut yang mempengaruhi hati mereka dan manjur,
bukan dengan membentak, keras dan kasar. “dan
bantahlah mereka dengan cara yang baik,” bantahlah orang-orang yang menantang kalian dengan cara yang baik di
antara metode diskusi, dengan argumen, hujah dan sopan. “Seungguhnya Tuhanmu
Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan
Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk,” Tuhanmu hai Muhammad
Dia-lah yang tahu siapa yang sesat dan siapa orang yang memperoleh petunjuk.
Karena itu, kamu harus menempuh cara yang bijak dalam berdakwah dan berdebat
dengan mereka. Bukanlah kamu yang memberi mereka petunjuk, kamu hanya bertugas
menyampaikan dan Kami-lah yang menghisab amal mereka.[2]
Allah berfirman menyuruh Rasul-Nya
berseru kepada manusia mengajak mereka kejalan Allah dengan hikmah
kebijaksanaan dan nasehat serta anjuran yang baik. Dan jika orang-orang itu
mengajak berdebat, maka bantahlah mereka dengan cara yang baik. Allah lebih
mengetahui siapa yang durhaka tersesat dari jalan-nya dan siapa yang bahagia
berada didalam jalan yang lurus yang ditunjukkan oleh Allah. Maka janganlah
menjadi kecil hatimu, hai Muhammad, bila ada orang-orang yang tidak mau
mengikutimu dan tetap berada dijalan yang sesat. Tugasmu hanyalah menyampaikan
apa yang diwahyukan oleh Allah kepadamu dan memberi peringatan kepada mereka,
sedang Allah yang akan menentukan dan memberi petunjuk, serta Dia-lah yang akan
meminta pertanggungjawaban hamba-hamba-Nya kelak dihari kiamat.[3]
B.
Tafsir
Surat Al-A’Raaf, 7 : 176-177
وَلَوۡ
شِئۡنَالَرَفَعۡنَٰهُ بِهَا وَلَٰكِنَّهُۥٓ أَخۡلَدَ إِلَى ٱلۡأَرۡضِ وَٱتَّبَعَ
هَوَىٰهُۚ فَمَثَلُهُۥ كَمَثَلِ ٱلۡكَلۡبِ إِن تَحۡمِلۡ عَلَيۡهِ يَلۡهَثۡ أَوۡ
تَتۡرُكۡهُ يَلۡهَثۚ ذَّٰلِكَ مَثَلُ ٱلۡقَوۡمِ ٱلَّذِينَ كَذَّبُواْ بَِٔايَٰتِنَاۚ
فَٱقۡصُصِ ٱلۡقَصَصَ لَعَلَّهُمۡ يَتَفَكَّرُونَ ١٧٦ سَآءَ مَثَلًا ٱلۡقَوۡمُ ٱلَّذِينَ
كَذَّبُواْ بَِٔايَٰتِنَا وَأَنفُسَهُمۡ كَانُواْ يَظۡلِمُونَ ١٧٧
“Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami
tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia
dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing,
jika kamu menghalaunya, diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya, dia
mengulurkan lidahnya (juga). Demikian
itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka
ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berpikir.”
(176)
“Amat buruklah perumpamaan orang-orang yang
mendustakan ayat-ayat Kami dan kepada diri mereka sendirilah mereka berbuat
zalim.” (177)
Firman
Allah: “Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya
dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa
nafsunya yang rendah.” Allah
berfirman: “Dan kalau Kami menghendaki,
sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu.” Maksudnya,
Kami sucikan ia dari berbagai kotoran dunia, dengan ayat-ayat yang Kami berikan
kepadanya. “Tetapi dia cenderung kepada dunia.” Maksudnya, ia lebih
cenderung kepada perhiasan kehidupan dunia dan memilih kelezatan dan
kenikmatannya, serta tertipu olehnya, sebagaimana telah tertipu orang-orang
lain yang tidak memiliki akal pikiran.
Dan
firman-Nya: “Maka perumpamaannya
seperti anjing, jika kamu menghalaunya, diulurkannya lidahnya. Dan jika kamu
membiarkannya, dia mengulurkan lidahnya (juga).” Para ahli
tafsir telah berbeda pendapat mengenai maknanya. Mengenai ungkapan Ibnu Ishaq,
dari Salim, dari Abu Nadhr, bahwa Bal’am[4]
keluar lidahnya sampai kedadanya. Maka tasybih
(penyerupaan) dirinya dengan anjing yang menjulurkan lidahnnya dalam kedua
situasi itu cukup jelas.
Ada
juga yang mengatakan bahwa makna firman-Nya itu adalah Bal’am menjadi seperti
anjing dalam kesesatannya secara terus-menerus, serta tidak mau mengambil
manfaat, baik diseru kepada iman maupun tidak, sehingga menjadi seperti anjing yang
menjulurkan lidahnya baik ketika dihalau atau dibiarkan. Demikianlah keadaan
Bal’am; sama saja baginya, ia tidak mengambil manfaat ketika diberi pelajaran
dan seruan kepada keimanan ataupun tidak. Sebagaiman yang difirmankan Allah
swt.:
“Sama saja bagi mereka, engkau beri peringatan atau
tidak engkau beri peringatan, mereka tidak akan beriman.” (Q.S. al-Baqarah, 2 : 6)
Dan firman
Allah: “Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka
berpikir.” Allah berfirman kepad Nabi-Nya Muhammad saw.: “Maka
ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berpikir.”
Maksudnya, supaya Bani Israil mengetahu keadaan Bal’am dan yang terjadi
kepadanya, ketika disesatkan oleh Allah swt. serta dijauhkan dari rahmat-Nya.
Disebabkan ia menggunakan nikmat Allah yang diberikan kepadanya berupa
pengajaran Nama-Nya Yang Agung (yang jika diminta dengan nama itu, Allah pasti
akan mengabulkan dan jika diseru dengannya, Allah pasti akan memenuhi) bukan dalam
rangka ketaatan kepada Allah. Bahkan ia pernah mendo’akan keburukan dengan
menggunakan nama itu terhadap Hizbullah (golongan Allah) dan Hizbul Mukminin
(golongan orang-orang yang beriman), para pengikut hamba dan Rasul-Nya pada
zaman itu, yaitu Musa bin Imran as. Oleh karena itu, Allah swt. berfirman: Agar
mereka berpikir.” Sehingga, mereka menghindarkan diri agar mereka tidak
mengalami hal yang serupa dengan Bal’am.
Karena Allah swt. telah memberikan kepada mereka ilmu dan kelebihan atas bangsa
lainnya dari orang-orang Badui (Arab pedalaman) dan kepada mereka telah
diberikan berita tentang sifat Muhammad saw. Mereka semua mengenal sifatnya,
seperti mereka mengenal anak mereka sendiri. Mereka itulah yang sebenarnya
lebih berhak dan lebih patut untuk mengikuti, membela dan mendukung Muhammad
saw., sebagaimana hal itu telah
diberitahukan dan diperintahkan oleh para Nabi mereka. Oleh karena itu,
barangsiapa diantara mereka yang menentang isi kitab-Nya dan mnyembunyikannya,
sehingga tidak diketahui para hamba-Nya, maka Allah swt. akan menimpakan
kepadanya kehinaan di dunia yang disambung dengan kehinaan di akhirat.
Firman
Allah swt. lebih lanjut: “Amat buruklah perumpamaan orang-orang yang
mendustakan ayat-ayat Kami.” Maksudnya, sungguh sangat buruk perumpamaan
kaum yang mendustakan ayat-ayat Kami. Mereka diserupakan dengan anjing yang
keinginannya hanya mencari makan dan memenuhi hawa nafsunya. Dengan demikian,
orang yang keluar dari lingkup ilmu dan petunjuk, serta cenderung mengikuti
nafsu syahwatnya, maka ia menjadi seperti anjing. Yang demikian itu benar-benar
perumpamaan yang sangat buruk. Oleh karena itu, didalam hadist shahih
ditegaskan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:
(لَيْسَ لَنَا مَثَلُ السُّوءِ الْعَا ئِدُ فِيْ هِبَتِهِ
كَاالْكَبُ يَعُوْدُ فِيْ قَيْئِهِ)
“bukan bagi kami perumpamaan yang buruk, orang yang
mengambil kembali pemberiannya, seperti anjing yang menjilat kembali
muntahnya.”
Dan
firman-Nya: “Dan kepada diri mereka sendirilah mereka berbuat zalim.” Maksudnya
Allah tidak menzhalimi mereka, tetapi merekalah yang telah menzhalimi diri
mereka sendiri, dengan penolakan mereka untuk mengikuti petunjuk dan melakukan
ketaatan kepada Allah swt. mereka lebih
memilih kehidupan dunia yang fana serta cenderung kepada kelezatan duniawi dan mengikuti hawa nafsu.[5]
C.
METODE
PENDIDIKAN ISLAM
1.
Pengertian
Metode Pendidikan Islam
Secara
etimologis, istilah metode berasal dari bahasa Yunani “metodos”. Kata ini terdiri dari dua suku
kata: yaitu “metha’ yang berarti melalui atau melewati dan “hodos” yang berarti
jalan atau cara. Metode berarti suatu jalan yang dilalui untuk mencapai tujuan.
Dalam bahasa Arab metode disebut “Thariqat”, dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, “metode” adalah cara yang teratur dan
terpikir baik-baik untuk mencapai maksud. Sehingga dapat dipahami bahwa metode
berarti suatu cara yang harus dilalui untuk menyajikan suatu bahan pelajaran
agar tercapai tujuan pengajaran.
Sementara itu, pendidikan merupakan usaha
membimbing dan membina serta bertanggungjawab untuk mengembangkan intelektual
pribadi anak didik kearah kedewasaan dan dapat menerapkannya dalam kehidupan
sehari-hari. Maka pendidikan Islam adalah sebuah proses dalam membentuk
manusia-manusia muslim yang mampu mengembangkan potensi yang dimilikinya untuk
mewujudkan dan merealisasikan tugas dan fungsinya sebagai khalifah Allah swt.,
baik kepada Tuhannya, sesama manusia dan sesama makhluk lainnya. Pendidikan
yang dimaksud selalu berdasarkan kepada ajaran al-Qur’an dan Hadist.
Oleh karena itu, yang dimaksud dengan
Metodologi Pendidikan Islam adalah cara yang dapat ditempuh dalam memudahkan
pencapaian tujuan pendidikan Islam.
2.
Macam-macam
Metodologi Pendidikan Islam
Beberapa metode pengajaran yang
dikenal secara umum, antara lain:
a. Metode ceramah, memberikan pengertian dan uraian suatu masalah.
b. Metode diskusi, memecahkan masalah dengan berbagai tanggapan.
c. Metode eksperimen, mengetahui proses terjadinya suatu masalah.
d. Metode demonstrasi, menggunakan praga untuk memperjelas sebuah
masalah.
e. Metode pemberian tugas, dengan cara memberi tugas tertentu secara
bebas dan bertanggungjawab.
f. Metode sosiodrama, menunjukkan tingkah laku kehidupan.
g. Metode drill, mengukur daya serap terhadap pelajaran.
h. Metode kerja kelompok.
i.
Metode tanya
jawab
j.
Metode
proyek, memecahkan masalah dengan langkah-langkah secara ilmiah, logis dan
sistematis.
Berbicara mengenai metode yang digunakan
dalam mendidik, Al-Ghazali mengemukakan beberapa metode alternatif antara lain:
a.
Muhajadah dan Riyadlah Nafsiyah (kekuatan dan latihan
jiwa). Yaitu mendidik anak dengan cara mengulang-ulangi pengalaman. Hal ini
akan meninggalkan kesan yang baik dalam jiwa anak didik dan benar-benar akan
menekuninya sehingga terbentuk akhlak dan watak dalam dirinya.
b.
Mendidik anak
hendaknya menggunakan beberapa metode. Penggunaan metode yang bervariasi akan
membangkitkan motivasi belajar dan menghilangkan kebosanan.
c.
Pendidik
hendaknya memberikan dorongan dan hukuman. Memberikan dorongan berupa pujian,
penghargaan dan hadiah kepada anak yang berpretasi. Sedangkan memberikan
hukuman hendaknya bersifat mendidik dengan maksud memperbaiki perbuatan yang
salah agar tidak menjadi kebiasaan. Pemberian hukuman jasmani hendaknya
disyaratkan bila anak telah mencapai usia 10 tahun, dan kalau pun harus
melakukan hukuman jasmani hendaknya pukulan tidak melebihi 3 kali, hal in
dimaksudkan untuk memberikan kesempatan bertaubat kepada siterdidik.[6]
D.
Asbabun
Nuzul Q.S al-A’raaf, 7: 176-177
Orang itu bernama Bal’am
bin Baa’auraa’ dari Bani Israil., keterangan Ibnu Mas’uud. Sedang Ibnu Abbas
mengatakan, bahwa orang itu bernama Shaifi bin Arrahib. Ka’b mengatakan:
seorang dari Balqaa’, tinggal diaerah Baitil Maqdis bernama kamu Jabarin. Ibnu
Abbas juga mengatakan, bahwa orang itu bernama Bal’am bin Baa’auraa’, pada
mulanya Allah memberinya pengertian ayat-ayat-Nya, kemudian ia mengabaikan dan
meninggalkannya. Malik bin Dienaar berkata, orang itu termasuk ulama Bani
Israil yang mustajab do’anya, bahkan ia ditonjolkan dalam menghadapi segala
kesukaran, diutus oleh Nabi Musa as. Ke raja Mad-yan untuk mengajaknya masuk
Islam menyembah kepada Allah, tiba-tiba ia diberi tanah, lalu murtad dan
menurut agama yang dianut oleh raja itu.
Abdullah bin Amr mengatakan bahwa
orang itu Umayyah bin Abis Shalt, yakni menyerupainya, karena ia juga
mengetahui ayat-ayat Allah tetapi kafir, bahkan ia membantu kaum musyrikin, dan
memuji-muji mereka, bahkan termasuk orang yang beriman lidahnya tetapi tidak
beriman hatinya.
Ibn Abbas berkata, “ketika Musa as.
bertugas untuk membasmi kaum Jabbarin, maka Bal’aam didatangi oleh kaumnya dan
sepupunya dan mereka berkata, “sesungguhnya Musa orang yang keras, kuat, serta
mempunyai sangat banyak pengikut, dan bila ia menang pasti membinasakan kita,
karena itu berdoalah kepada Allah untuk menghalau Musa dari kami”. Jawab
Bal’aam, “jika aku berdoa kepada Allah untuk menghalau Musa dan sahabatnya maka
akan binasa dunia dan akhiratku”. Lalu orang-orang itu tetap mendesak kepada
Bal’aam dengan berbagai cara akhirnya ia menurut dan berdoa, maka Allah
mencabut ilmunya.
Hudzaifah bin Alyamaan ra. Berkata,
“Rasulullah bersabda: Sesungguhnya diantara yang saya khawatirkan atas kalian,
ialah seseorang yang pandai membaca al-Qur’an sehingga apabila mulai terlihat
keindahannya sedang simbolnya ialah islam, tiba-tiba terkena berbagai pengaruh
terlepas dari al-Qur’an dan meletakkan dibelakang punggungnya, dan menuduh tetangganya
dengan syirik sehingga membunuhnya dengan pedang. Hudzaifah bertanya, “ya
Rasulullah siapakah yang musyrik yang menuduh atau yang dituduh?” Jawab Nabi
saw., “bahkan yang menuduh”. (HR. Abu Ya’la)
Walau nasyaa’u larafa’naa hu bihas,
walaa kinnahu akh lada ilal ardhi wattaba’a hawaa hu: andaikan kami berkehendak
dapat menaikkan derajatnya setinggi-tinggi ayat yang diketahui, tetapi ia lebih
condong kedunia dan menurutkan hawa nafsunya.
Muhammad bin Ishaq meriwayatkan dari
Salim bin Annadher berkata: ketika Musa as. Menyerbu daerah Bani Kan’aan di
Syam, langsung menuju kedaerah kaum Bal’aam, maka mereka datang kepada Bal’aam
dan berkata, “itu Musa bin Imran bersama Bani Israil datang untung mengusir
kami dari negeri ini atau membunuh kami dan menempatkannya kepada Bani Israil,
sedang kami kaum mu tidak mempunyai tempat tinggal dan kau seorang yang
mustajab doamu, karena itu keluarlah dan berdoalah untuk kami, semoga Allah
membinasakan mereka“. Jawab Bal’aam” celaka kalian itu Nabiyullah bersama
Malaikat dan kaum mukminin, bagaimana aku akan mendoakan mereka, padahal aku
telah mengetahui dari Allah apa yang telah aku ketahui”. Mereka berkata,” lalu
bagaimana kami tidak punya tempat tinggal dan selalu mengharap dan meminta
tolong kepadanya, sehingga ia terpengaruh, maka ia mengendarai himarnya menuju
gunung yang dapat melihat tentara Bani Israil yaitu gunung Husban maka ketika
berjalan tiba-tiba himar itu berhenti, maka turunlah Bal’aam dan memukulnya
sehingga bangun kembali dan dikendarainya, tiba-tiba duduk kembali, maka
dipukulnya lagi sehingga Allah mengizinkannya berkata, Celaka anda hai Bal’aam,
kemana anda akan pergi? Apakah anda tidak melihat Malaikat didepanku
menghalangi aku tidak boleh terus? Apakah anda akan pergi mendoakan Nabiyullah
dan kaum mukminin, maka Bal’aam tetap memukulinya sehingga Allah membiarkannya
sehingga ketika ia telah dapat melihat tentara Musa dan Bani Israil ia mulai
berdoa, dan tiap berdoa untuk membinasakan Musa terbalik lidahnya kepada
kaumnya, dan tiada berdoa baik untuk kaumnya melainkan terbalik lidahnya kepada
Bani Israil, sehingga ditegur oleh kaumnya, Ya Bal’aam tahukah anda apa yang
anda perbuat mendoakan baik kepada mereka dan binasa bagi kami. Jawab Bal’aam,
“hanya itulah yang dapat aku lakukan, kemudian keluar lidahnya hingga turun
sampai kedadanya lalu ia berkata “kini aku telah rugi dunia dan akhirat. Dn
tidak ada jalan bagiku kecuali tipu daya dan siasat”. Maka aku berbuat hina,
tipu daya, hiasilah kaum wanita dan lepaskan mereka membawa dagangan ke askar
Musa Bani Israil supaya berjualan disana, dan dianjurkan kepada mereka tidak
menolak siapapun dari Bani Israil jika akan berbuat zina dengan mereka, sebab
jika ada seorang saja diantara mereka yang berzina sudah cukup.
Dan ketika wanita-wanita itu telah
memasuki daerah askar Bani Israil seorang wanita dari bangsawan Kan’an berjalan
melalui seorang pemuka Bani Israil bernama Zumri bin Syalum pemimpin dari
Syam’uun bin Ya’qub as. Ketika melihat wanita cantik ini segera ia bangun dan
memegang tangannya dan membawanya kepada Nabi Musa as. dan berkata: “Saya yakin
bahwa anda akan mengatakan kepadaku bahwa wanita ini haram atasku dan melarang
aku jangan mendekatinya?” Jawab Musa: “Benar, ia haram atasmu”. Zumri berkata,
“Demi Allah dia tidak taat kepadamu dalam hal ini”. Lalu wanita itu dibawa
masuk kerumahnya dan berzina, maka Allah menurunkan waba’tha’uun dikalangan
Bani Israil. Sedang waktu itu Fanhash komandan yang dipercaya Musa waktu itu
tidak ada, maka ketika menjalar waba’tha’uun dan berita mengenai Zumri
disampaikan kepada Fanhash segera ia membawa tombaknya dan masuk dalam kemah
Zumri yang sedang berzina lalu menancapkan keduanya dalam ujung tombak dan
membawa keduanya keluar kemah dan mengangkat keduanya diujung tombak kelangit
sambil berdoa: Ya Allah demikianlah hukuman kami terhadap orang yang melanggar
maksiat kepada-Mu. Maka langsung penyakit itu hilang dari mereka waba’tha’uun,
kemudian dihitung orang yang mati karena waba’ kolera itu selama Zumri berbuat
hingga dibunuh itu sebanyak 70.000 (tujuh puluh ribu) orang, ada yang
mengurangi bilangan menyatakan hanya dua puluh ribu orang dalam waktu sesaat
disiang hari.
Demikianlah ayat 176 ini diturunkan
menceritakan kepada kita kisah Bal’aam, untuk mengingatkan kepada kita bahwa meskipun
sesorang itu telah mencapai ilmu yang sangat tinggi sebagaimana yang telah
dicapai oleh para Nabi tetapi lalu ia maksiat dan condong kepada dunia, maka
akhirnya bernasib sebagaimana Bal’aam. Orang itu contohnya bagaikan anjing yang
selalu mengulurkan lidahnya dalam segala hal, selalu menjilat-jilat dan tidak
berguna baginya segala peringatan, ancaman dan nasehat, tidak berguna baginya
iman dan pengetahuan.
Karena itulah ayat ini ditutup dengan
kalimat: Faq shushil qashasha la ‘allahum yatafakkarrun : Ikutilah kisah ini
supaya mereka berpikir dan memperhatikan. Dan dapat mawas diri dan berhati-hati
jangan sampai terjadi seperti itu.[7]
BAB
III
PENUTUP
A. Analisis
Dari dua surah yang telah dibahas diatas,
dapat kita analisis bagaimana metode yang baik dan benar dalam pendidikan
karena sesungguhnya dalam pendidikan sangat diperlukan sebuah metode yang tapat
agar proses pendidikan dapat berjalan dengan baik. Selain itu mengambil
pelajaran dari kisah-kisah ummat terdahulu agar kita tidak mengulangi kesalahan
yang telah dilakukan oleh ummat terdahulu
B. Kesimpulan
Dalam proses pendidikan haruslah
menerapkan 3 metode yang telah dijelaskan dalam al-Qur’an surah an-Nahl ayat
125 , yakni:
1. Menyampaikan
dakwah dengan hikmah
2. Pengajaran
atau yang baik
3. Debat
dengan cara yang terbaik
Penting juga bagi kita untuk mengambil
pelajaran dari kisah-kisah ummat terdahulu agar tidak terjerumus kedalam
kesalahan yang telah mereka lakukan, sebagaimana yang tedapat dalam surah
al-A’raaf ayat 176-177.
DAFTAR
PUSTAKA
Nata, H.Abuddin. 2012. Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan (Tafsir Al-Ayat
Al-Tarbawiy). Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Ash-Shabuni,
Muhammad Ali. 2011. Shafwatut Tafasir, Tafsir-Tafsir Pilihan.
Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Bahreisy, H. Salim dan
Bahreisy, H. Said. 1988. Terjemah Singkat
Tafsir Ibnu Katsier. Surabaya, PT. Bina Ilmu.
Abdullah bin Muhammad bin ‘Abdurrahman
bin Ishaq Alu Syaikh. 2008. Tafsir Ibnu
Katsir. Jakarta, Pustaka Imam Asy-Syafi’I.
Arief, Armani. 2002. Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan
Islam. Jakarta: Ciputat Pers.
[1] H. Abudin Nata, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan (Tafsir Al-Ayat
Al-Tarbawiy), (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2012), cet. V, Hal. 171-172.
[2] Syaikh Muhammad Ali
Ash-Shabuni, Shafwatut Tafasir,
Tafsir-Tafsir Pilihan, (Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 2011), cet. pertama,
jilid 3, hal. 181-182.
[3] H. Salim Bahreisy, H. Said Bahreisy, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsier, (Surabaya, PT. Bina Ilmu,
1988), cet pertama, jilid IV, hal. 610.
[5] Abdullah bin Muhammad bin
‘Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh, Tafsir Ibnu Katsir, (Jakarta, Pustaka Imam
Asy-Syafi’I, 2008), cet. ke-6, jilid 3, 485-488
[6] Armani Arief, Pengantar Ilmu dan
Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta, Ciputat Pers, 2002), hal 40-45
Komentar
Posting Komentar