Transfusi Darah dan Euthanasia
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Syari’at Islam adalah merupakan syari’at terakhir yang
membawa petunjuk bagi umat manusia. Dengan syari’at itu Allah telah memberi
beberapa keistimewaan, antara lain, hal-hal yang bersifat umum, abadi dan
meliputi segala bidang. Di dalamnya telah diletakkan dasar-dasar hukum bagi
manusia dalam memecahkan segala permasalahnnya.
Masalah transfusi darah adalah masalah baru dalam
hukum Islam, karena tidak ditemukan hukumnya dalam fiqh pada masa-masa
pembentukan hukujm Islam. Al-Qur’an dan Haditspun sebagai sumber hukum Islam,
tidak menyebutkan hukumnya, sehingga pantaslah hal ini disebut sebagai masalah
ijtihadi, Karena untuk mengetahui hukumnya diperlukan metode-metode istinbath
atau melalui penalaran terhadap prinsip-prinsip umum Agama Islam.
Di dalam Al-Qur’an Surah Al-Mulk ayat 2, diingatkan
bahwa hidup dan mati adalah di tangan Tuhan yang Ia ciptakan untuk menguji
iman, amalan, dan ketaatan manusia terhadap Tuhan.
B.
Rumusan
Masalah
Adapun permasalahan yang dibahas di dalam makalah ini
ialah:
1.
Apa pengertian
dari transfusi darah?
2.
Bagaimana
hubungan antara donor dan resipien?
3.
Bagaimana
pandangan Agama Islam terhadap donor darah?
4.
Apa pengertian
dari Euthanasia?
5.
Bagaimana
pandangan Agama Islam terhadap bunuh diri dan Euthanasia?
C.
Tujuan
Penulisan
Tujuan dari penyusunan makalah ini yaitu guna menjawab
pertanyaan dalam rumusan masalah di atas, berupa:
1.
Untuk mengetahui
pengertian dari transfusi darah.
2.
Untuk mengetahui
bagaimana hubungan antara donor dan resipien.
3.
Untuk mengetahui
bagaimana pandangan Agama Islam terhadap donor darah.
4.
Untuk mengetahui
pengertian dari Euthanasia.
5.
Untuk mengetahui
bagaimana pandangan Agama Islam terhadap bunuh diri dan Euthanasia.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Transfusi Darah
Menurut dr. Rustam Masri, transfusi darah adalah
proses pekerjaan memindahkan darah dari orang yang sehat kepada orang yang
sakit, yang bertujuan untuk:
1.
Menambah jumlah
darah yang beredar dalam badan orang yang sakit yang darahnya berkurang karena
suatu sebab.
2.
Menambah
kemampuan darah dalam badan si sakit utuk menambah/membawa zar asam atau .
Dr. ahmad Sopian memberikan pengertian, bahwa
transfuse darah adalah memasukkan darah orang lain ke dalam pembuluh yang akan
ditolong.[1]
Transfusi darah adalah proses mentransfer darah atau
darah berbasis produk dari satu orang ke dalam sistem peredaran darah orang
lain. Transfusi darah dapat menyelamatkan jiwa dalam beberapa situasi, seperti
kehilangan darah besar karena trauma, atau dapat digunakan untuk menggantikan
darah yang hilang selama operasi.[2]
Transfusi darah (blood transfuse, bhs.
Belanda), ialah memindahkan darah dari seseorang kepada orang lain untuk
menyelamatkan jiwanya.[3]
Dengan demikian, transfusi darah itu tiada lain adalah
suatu cara membantu pengobatan yang sudah ada, dan darah hanya membantu saja
sebagai salah satu pelengkap daripada metode pengobatan. Namun demikian perlu
diperhatikan lagi, bahwa transfusi darah itu bukanlah pekerjaan yang tanpa
resiko dan mungkin merupakan suatu pekerjaan yang banyak resikonya bagi si
sakit.
Sebagaimana diketahui, bahwa sumber darah itu amat
terbatas. Sumber darah itu hanya manusia saja dan tidak semua orang bisa
menjadi donor, yaitu yang berumur 19 sampai dengan 60 tahun. Kemudia ada lagi
pembatasan-pembatasan lain, yaitu bagi orang yang darahnya kurang, atau orang
yang pada saat menjadi donor kesehatannya terganggu. Transfusi darah, jangan
sampai menjadi beban bagi si sakit, Karena darah yang diterimanya kurang atau
tidak baik, disamping menanggung biaya yang cukup mahal. Pasien yang tidak
memerlukan benar, jangan diberikan darah, mengingak efek sampingnya yang
mungkin terjadi bagi si sakit. [4]
B.
Hubungan
Antara Donor dan Resipien (Penerima)
Adapun hubungan antara donor dan resipien (penerima)
setelah terjadi transfuse darah, tidak membawa akibat hukum ada hubungan
kemahraman (haram kawin), umpamanya dipandang sebagai saudara sepersusuan.
Sebab, factor-faktor yang dapat
menyebabkan kemahhramannya, sudah ditentukan dan ditetapkan oleh Agama Islam
sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an, Allah berfirman yang artinya:
“diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu,
anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara
bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak
perempuan dari sauadara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara
perempuan sepersusuan, ibu-ibu isterimu (mertua), anak-anak isterimu yang dalam
pemelihharaanmu dari isteri yang sudah kamu campuri, tetapi jika kamu belum
bercampur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa
kamu menggawininya, (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu
(menantu) dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara,
kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.” (Q.S. an-Nisa’: 23)
Dari terjemahan ayat di atas dapat disimpulkan sebagai
berikut:
1.
Mahram karena
ada hubungan nasab.
2.
Mahram karena
ada ada hubungan perkawinan.
3.
Mahram karena
ada hubungan persusuan.[5]
Kemudian pada ayat berikutnya ditegaskan bahwa selain
wanita-wanita yang disebutkan tersebut
di atas adalah halal untuk dinikahi. Sebab tidak ada kemahraman, kecuali
mengawini seorang wanita bersama bibinya secara poligamis dilarang berdasarkan
hadits Nabi. Maka jelaslah bahwa transfusi darah tidak mengakibatkan hubunggan
kemahraman antara donor dan resipien. Karena itu, perkawinan antara donor dan
resipien diizinkan oleh Agama (Hukum Islam), berdasarkan mafhum mukhalafah
Surah an-Nisa ayat 23-24 tersebut di atas.[6]
Menurut Ust. Subki Al-Bughury, adapun hubungan antara
donor dan resipien, adalah bahwa transfusi darah itu tidak membawa akibat hukum
adanya hubungan kemahraman antara donor dan resipien.[7]
Hendaknya dingat, bahwa bila tidak hati-hati dalam
penanganan transfusi darah ini, maka aka nada resiko bagi resipien. Sebab itu
secara medis harus diperhatikan pengaruhnya.[8]
C.
Pandangan
Agama Islam terhadap Donor Darah
Masalah donor darah adalah masalah yang baru, dalam
arti kata tidak ditemukan hukumnya pada masa pembentukan hukum Islam, ataupun
dalam Al-Qur’an dan Hadits, sebagaimana telah disebutkan pada bagian latar
belakang masalah.
Agama Islam tidak melarang seorang muslim atau
muslimah menyumbangkan darahnya untuk tujuan kemanusiaan dan bukan komersil. Darah
itu dapat disumbangkan secara langsung kepada yang memerlukannya, seperti untuk
keluarga sendiri, atau diserahkan kepada Palang Merah Indonesia atau Bank Darah
untuk disimpan dan sewaktu-waktu dapat digunakan untuk menolong orang yang
memerlukan, apakah seagama atau tidak.[9]
Sebagai dasar hukum yang membolehkan donor darah ini,
dapat dilihat dalam kaidah hukum Islam bahwa “pada prinsipnya segala sesuatu
itu boleh (mubah), kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”
Berdasarkan kaidah tersebut di atas, maka hukum donor
darah itu diperbolehkan, karena tidak ada dalil yang melarangnya baik dari
Al-Qur’an maupun hadits. Namun demikian tidak berarti bahwa kebolehan itu dapat
dilakukan tanpa syarat, bebas lepas begitu saja.[10]
D.
Pengertian
Euthanasia
Istilah euthanasia berasal dari bahasa Yunani, yaitu
“eu” dan “thanatos”. Kata “eu” berarti baik, tanpa penderitaan dan “Thanatos” berarti mati. Dengan demikian
euthanasia dapat diartikan mati dengan baik tanpa penderitaan. Ada yang
menerjemahkan mati cepat tanpa derita.
Secara etimologis euthanasia berarti kematian dengan
baik tanpa penderitaan, maka dari itu dalam mengadakan euthanasia arti
sebenarnya bukan untuk menyebabkan kematian, namun untuk mengurangi atau
meringankan penderitaan orang yang sedang menghadapi kematiannya. Dalam arti
yang demikian itu euthanasia tidaklah bertentangan dengan panggilan manusia
untuk mempertahankan dan memperkembangkan hidupnya, sehingga tidak menjadi
persoalan dari segi kesusilaan. Artinya dari segi kesusilaan dapat dipertanggungjawabkan
bila orang yang bersangkutan menghendakinya.
Akan tetapi dalam perkembangan istilah selanjutnya,
euthanasia lebih menunjukkan perbuatan yang membunuh karena belas kasihan, maka
menurut pengertian umum sekarang ini, euthanasia dapat diterangkan sebagai
pembunuhan yang sistematis karena kehidupannya merupakan suatu kesengsaraan dan
penderitaan. Inilah konsep dasar dari euthanasia yang kini maknanya berkembang
menjadi kematian atas dasar pilihan rasional seseorang, sehingga banyak masalah
yang ditimbulkan dari euthanasia ini. Masalah tersebut semakin kompleks karena
definisi dari kematian itu sendiri telah menjadi kabur.[11]
Istilah untuk pertolongan medis adalah agar kesakitan
atau penderitaan yang dialami seseorang yang akan meninggal diperingan. Juga
berarti mempercepat kematian seseorang yang ada dalam kesakitan dan penderitaan
hebat menjelang kematiannya.
E.
Pandangan
Islam terhhadap Bunuh Diri dan Euthanasia
Hidup dan mati itu ada di tangan Tuhan, dan merupakan
karunia dan wewenang Tuhan, maka Islam melarang orang yang melakukan
pembunuhan, baik terhadap orang lain (kecuali dengan alasan yang dibenarkan
oleh agama) maupun terhadap dirinya sendiri (bunuh diri) denngan alasan apapun.
Dalil-dalil syar’i yang melarang bunuh diri dengan alasan
apapun, ialah friman Allah dalam surat an-Nisa ayat 29-30 yang artinya:
“dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya
Allah adalah Maha Penyayang kepada kamu. Dan barang siapa berbuat demikian
dengan melanggar dan aniaya, maka Kami kelak akan memasukannya ke dalam neraka.
Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.”[12]
Dalam hadits yang diiriwayatkan oleh Bukhari dan
Muslim pun menjelaskan tentang hal tersebut. Dari Jundub bin Abdulllah r.a. “telah
ada di antara orang-orang sebelum kamu seorang lelaki yang mendapat luka, lalu
keluh kesahlah ia. Maka ia mengambil pisau lalu memotong ttangannya dengan
pisau itu. Kemudian tidak berhenti-henti darahnya keluar sehingga ia mati. Maka
Allah bersabda, “Hamba-Ku telah menyegerakan kematiannya sebelum Aku mematikan.
Aku mengharamkan surge untuknya.”[13]
Dalam hal ini, Islam tetap tidak membolehkan si
penderita menghabisi nyawanya, baik dengan tangan sendiri, maupun dengan
bantuan orang lain, seperti dokter dengan cara memberi suntukan atau obat yang
dapat mempercepat kematiaannya (euthanasia positif) atau dengan cara
menghentikan segala pertolongan terhadap si penderita termmasuk pengobatannya
(euthanasia negatif).
Orang yang mengakhiri hidupnya dengan cara demikian
berarti dia telah mendahului atau melanggar kehendak Allah dan wewenang-Nya
(seperti yang disebutkan dalam Qur’an maupun hadits di atas). Seharusnya orang
bersikap sabar dan tawakkal menghadapi musibah dan berdo’a kepada Allah semoga
berkenan memberikan ampunan kepadanya dan memberikan kesehatan kembali, apabila
hidupnya masih bermanfaat dan lebih baik baginya.[14]
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Dari penjelasan isi makalah di atas dapat ditarik
simpulan bahwa, transfusi darah adalah proses pekerjaan memindahkan darah dari
orang yang sehat kepada orang yang sakit, yang bertujuan untuk menambah jumlah
darah yang beredar dalam badan orang yang sakit yang darahnya berkurang karena
suatu sebab, dan menambah kemampuan darah dalam badan si sakit utuk
menambah/membawa zar asam atau
Adapun hubungan antara donor dan resipien, adalah
bahwa transfusi darah itu tidak membawa akibat hukum adanya hubungan kemahraman
antara donor dan resipien.
Agama Islam tidak melarang seorang muslim atau
muslimah menyumbangkan darahnya untuk tujuan kemanusiaan dan bukan komersil.
Euthanasia berarti kematian dengan baik tanpa
penderitaan, dalam arti bukan untuk menyebabkan kematian, namun untuk
mengurangi atau meringankan penderitaan orang yang sedang menghadapi
kematiannya.
Islam tidak membolehkan seseorang menghabisi nyawanya,
baik dengan tangan sendiri, maupun dengan bantuan orang lain, seperti dokter
dengan cara memberi suntukan atau obat yang dapat mempercepat kematiaannya
(euthanasia positif) atau dengan cara menghentikan segala pertolongan terhadap
si penderita termmasuk pengobatannya (euthanasia negatif).
[1] M. Ali
Hasan, Masail Fiqhiyah Al-Haditsah pada Masalah-Masalah Kontemporer Hukum
Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997), cet. II, hal. 112-113.
[3] Masjfuk
Zuhdi, Masail Fiqhiyah, (Jakarta: PT Mida Surya Grafindo: 1994), ed. II,
cet. VII, hal. 49.
[4] Op. Cit., M.
Ali Hasan, Masail Fiqhiyah Al-Haditsah pada Masalah-Masalah Kontemporer
Hukum Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997), cet. II, hal. 113.
[6] Op. Cit.,
Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, (Jakarta: PT Mida Surya Grafindo: 1994),
ed. II, cet. VII, hal. 52. Lihat juga M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah
Al-Haditsah pada Masalah-Masalah Kontemporer Hukum Islam, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 1997), cet. II, hal. 113.
[7] https://nezfine.wordpress.com/2011/02/03/transfusi-darah-menurut-pandangan-islam/ diakses pada tanggal 18-03-2017 pukul
08.45 WITA.
[8] Loc.
Cit., M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah Al-Haditsah pada Masalah-Masalah
Kontemporer Hukum Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997), cet.
II.
[11] http://satriabara.blogspot.co.id/2012/06/makalah-euthanasia.html?m=1 diakses pada tanggal 19-03-2017 pukul 20.45 WITA
[12] Op. Cit.,
Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, (Jakarta: PT Mida Surya Grafindo: 1994),
ed. II, cet. VII, hal. 161-162.
[14] Op. Cit.,
M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah Al-Haditsah pada Masalah-Masalah
Kontemporer Hukum Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997), cet.
II, hal. 132.
Komentar
Posting Komentar