Pribadi Seorang Konselor
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seorang
guru pembimbing atau konselor harus memiliki kepribadian yang baik. Pelayanan
bimbingan dan konseling berkaitan dengan pembentukan perilaku dan kepribadian
klien. Melalui konseling diharapkan terebntuk perilaku positif (akhlak baik)
dan kepribadian yang baik pula pada diri klien. Upaya ini akan efektif apabila
dilakukan oleh seseorang yang memiliki kepribadian baik pula. Selain itu,
praktik bimbingan dan konseling berlandaskan atas norma-norma tertentu. Dengan
kepribadian yang baik, diharapkan tidak terjadi pelanggaran terhadap
norma-norma yang bisa merusak citra pelayanan bimbingan dan konseling.
Dalam
keadaan tertentu seorang guru pembimbing (konselor) bisa menjadi model atau
contoh yang baik bagi penyelesaian masalah siswa (klien). Dalam konteks ini ada
teori counselling by modelling, yaitu konseling melalui percontohan.
Guru pembimbing atau konselor bisa menjadi contoh yang efektif bagi pemecahan
masalah siswa (kliennya). Guru pembimbing (konselor) tidak akan dapat
menjalankan fungsi ini apabila dirinya tidak memiliki kepribadian yang baik.
Misalnya konselor akan sulit mengubah perilaku siswa yang tidak disiplin
apabila ia sendiri tidak dapat menunjukkan perilaku disiplin kepada para siswa.
Konselor akan sulit mengubah sifat siswa yang emosional apabila ia sendiri
adalah orang yang emosional dan seterusnya.
Dalam
praktik bimbingan dan konseling di lembaga pendidikan Islam seperti madrasah,
syarat ini menjadi lebih urgen. Sebagai lembaga pendidikan agama Islam yang
dalam praktik pendidikan dan pembelajarannya dilandasi oleh nilai-nilai ajaran
Islam, maka praktik pelayanan bimbingan dan konselingnya pun harus dijiwai dan
dilandasi oleh nilai-nilai ajaran Islam. Salah satu nilainya adalah pembimbing
atau konselornya harus berakhlak baik (memiliki akhlak al karimah).
Mungkin tidak berlebihan apabila ptaktik bimbingan dan konseling yang dijiwai
dan dilandasi oleh nilai-nilai ajaran Islam mengacu kepada praktik bimbingan
dan konselingnya Rasulullah Saw. Rasulullah Saw. adalah sosok pemecah masalah
umat yang efektif. Oleh sebab itu, Rasulullah Saw. merupakan konselor pertama
dalam Islam yang membinmbing, mengarahkan, menuntun, dan menasihati umatagar
beriman kepada agama Tauhid (Islam). Melalui bimbingan, arahan, tuntunan, dan
nasihatnya, manusia memperoleh kebahagiaan hidup baik di dunia dan akhirat.
Kepribadian mantab dapat menjadi contoh teladan yang baik bagi pemecahan
masalah para sahabat ketika iitu. Hal ini relevan dengan pernyataan “Di
dalam diri Muhammad Saw. terdapat contoh teladan yang baik bagimu”.
Kepribadian
yang baik dalam konteks Islam ditandai dengan kepemilikan iman, makrifah, dan
tauhid. Dengan demikian seorang pembimbing atau konselor terutama yang
berpraktik di lembaga-lembaga pendidikan Islam harus memiliki keimanan,
kemakrifatan, dan ketauhidan yang berkualitas. Kemakrifatan penting dimiliki
dalam kaitannya untuk bersimpati dan berempati terhadap klien (siswa). Selain
itu, kepribadian yang baik juga ditandai dengan dimilikinya aspek moralitas
yang baik pada diri pembimbing (konselor), seperti nilai-nilai, sopan santun,
adab, etika, dan tata krama yang dilandaskan apada ajaran agama Islam. Intinya
tanpa kepribadian yang baik dari guru pembimbing (konselor), tujuan pelayanan
bimbingan dan konseling akan sulit dicapai secara efektif.
B. Rumusan
Masalah
Dalam makalah ini akan
membahas mengenai:
1. Jelaskan apa saja karakteristik pribadi seorang
konselor ?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penyusunan
makalah ini ialah:
1. Untuk mengetahui apa saja karakteristik pribadi
seorang konselor dan penjelasannya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Kualitas
Pribadi Seorang Konselor
Kualitas pribadi konselor merupakan faktor yang sangat penting
dalam konseling. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas pribadi
konselor menjadi faktor penentu bagi pencapaian konseling yang efektif, di
samping faktor pengetahuan tentang dinamika perilaku dan keterampilan terpeutik
atau konseling.
Dalam rangka mempersiapkan para calon guru konselor atau guru
pembimbing, pihak lembaga yang bertanggungjawab dalam pendidikan para calon
konselor tersebut dituntut untuk memfasilitasi perkembangan pribadi mereka yang
berkualitas, yang dapat dipertanggungjawabkan secara profesional.
1.
Pemahaman
Diri
(Self-Knowledge)
Self-knowledge ini berarti bahwa konselor memahami dirinya dengan baik, dia
memahami secara pasti apa yang dia lakukan, mengapa dia melakukan hal itu dan
masalah apa yang harus dia selesaikan. Pemahaman diri sangat penting bagi
konselor, karena beberapa alasan berikut ini.
a.
Konselor
yang memiliki persepsi yang akurat tentang dirinya cenderung akan memiliki
persepsi yang akurat pula tentang orang lain atau klien (konselor akan lebih mampu mengenal
diri orang lain secara tepat pula).
b.
Konselor
yang terampil dalam memahami dirinya, maka dia akan terampil juga memahami
orang lain.
c.
Konselor
yang memahami dirinya, maka dia akan mampu mengajar cara memahami diri itu
kepada orang lain.
d.
Pemahaman
tentang diri memungkinkan konselor untuk dapat merasa dan berkomunikasi secara
jujur dengan klien pada saat proses konseling berlangsung.
Konselor yang memiliki tingkat self-knowledge yang baik akan
menunjukkan sifat-sifat berikut.
a.
Konselor
menyadari dengan baik tentang kebutuhan dirinya. sebagai konselor dia memiliki
kebutuhan diri.
b.
Konselor
menyadari dengan baik tentang perasaan-perasaannya.
c.
Konselor
menyadari tentang apa yang membuat dirinya cemas dalam konseling, dan apa yang
menyebabkan dirinya melakukan pertahanan diri dalam rangka mereduksi kecemasan
tersebut.
d.
Konselor
memahami atau mengakui kelebihan (kekuatan) atau kelemahan (kekurangan)
dirinya.
2.
Kompeten
(Competent)
Kompoten adalah bahwa konselor itu memliki kualitas fisik, intelektual, emosional,
sosial, dan moral sebagai pribadi yang berguna. Kompetensi sangatlah penting
bagi konselor, sebab klien yang dikonseling akan belajar dan mengembangkan
kompetensi-kompetensi yang diperlukan untuk mencapai kehidupan yang efektif dan
bahagia.[1]
Konselor yang efektif adalah yang memiliki (a) pengetahuan
akademik, (b) kualitas pribadi, dan (c) keterampilan
konseling.
Konselor yang memiliki kompetensi melahirkan rasa percaya diri pada
klien untuk meminta bantuan konseling terhadap konselor tersebut. Di samping
itu kompetensi ini juga sangat penting bagi efisiensi waktu pelaksanaan
konseling.
Konselor yang senantiasa berusaha meningkatkan kualitas
kompetensinya, akan menampilkan sifat-sifat atau kualitas perilaku diantaranya
yaitu:
a.
Secara
terus menerus meningkatkan pengetahuannya tentang tingkah laku dan konseling
dengan banyak membaca atau menelaah buku-buku atau jurnal-jurnal yang relevan,
menghadiri acara-acara seminar dan diskusi tentang berbagai hal yang terkait
dengan profesinya.
b.
Menemukan pengalaman-pengalaman hidup baru yang membantunya untuk
mempertajam kompetensi, dan mengembangkan keterampilan konselingnya. Upaya itu
ditempuhnya dengan cara menerima resiko, tanggung jawab dan tantangan-tantangan
yang dapat menimbulkan rasa cemas. Kemudian dia menggunakan rasa cemas itu
untuk mengaktualisasikan potensi-potensinya.
c.
Mencoba
gagasan-gagasan atau pendekatan-pendekatan baru dalam konseling. Mereka
senantiasa mencari cara-cara yang paling tepat atau berguna untuk membantu
klien.
d.
Mengevaluasi efektifitas konseling yang dilakukannya, dengan menelaah
setiap pertemuan konseling, agar bekerja lebih produktif.
e.
Melakukan
kegiatan tindak lanjut terhadap hasil evaluasi yang telah dilaksanakan untuk
mengembangkan atau memperbaiki proses konseling.[2]
3.
Kesehatan
Psikologis
Konselor dituntut memiliki kesehatan psikologis yang lebih baik
dari kliennya. Hal ini penting karena kesehatan psikologis (psychological
health) konselor akan mendasari pemahamannya terhadap perilaku dan
keterampilannya.
Konselor yang kesehatan psikologisnya baik memliki kualitas sebagai
berikut.
a.
Memperoleh
pemuasan kebutuhan rasa aman, cinta,
kekuatan dan seks.
b.
Dapat
mengatasi masalah-masalah pribadi yang dihadapinya.
c.
Menyadari
kelemahan atau keterbatasan kemampuan dirimya.
d.
Tidak
hanya berjuamg untuk hidup, tapi juga juga menciptakan kehidupan yang lebih
baik.
4.
Dapat
Dipercaya (Trustworthiness)
Kualitas ini berarti bahwa
konselor itu tidak menjadi ancaman atau penyebab kecemasan bagi klien. Kualitas
konselor yang dapat dipercaya sangat penting dalam konseling, karena beberapa
alasan, yaitu sebagai berikut.
a.
Esensi
tujuan konseling adalah mendorong klien untuk mengemukakan masalah dirinya yang paling dalam.
b.
Klien
dalam konseling perlu mempercayai karakter dan motivasi konselor.
c.
Apabila
klien mendapat penerimaan dan kepercayaan dari konselor, maka akan berkembang
dalam dirinya sikap percaya terhadap dirinya sendiri.
Konselor yang dipercaya cenderung memiliki kualitas sikap dan
perilaku sebagai berikut.
a.
Memiliki
pribadi yang konsisten.
b.
Dapat
dipercaya oleh orang lain.
c.
Tidak
pernah membuat orang lain kecewa atau kesal.
d.
Bertanggungjawab,
mampu merespon orang lain secara utuh, tidak ingkar janji, dan mau membantu
secara penuh.
5.
Jujur (Honesty)
Yang dimaksud jujur di sini adalah bahwa konselor itu bersikap
transparan (terbuka), autentik, dan asli (genuine). [3]
Sikap
bertindak dan berbicara secara jujur berarti bahwa konselor tidak boleh
berpura-pura, sehingga dalam pandangan murid konselor kelihatan “spontan”.[4]
Konselor yang jujur memiliki karakteristik sebagai berikut.
a.
Bersikap
kongruen.
b.
Memiliki
pemahaman yang jelas tentang makna
kejujurannya.
6.
Kekuatan
(Strength)
Kekuatan atau kemampuan konselor sangat penting dalam konseling,
sebab dengan hal itu klien akan merasa aman. Klien memandang konselor sebagai
orang yang (a) tabah dalam menghadapi masalah, (b) dapat mendorong klien untuk
mengatasi masalahnya, dan (c) dapat menanggulangi kebutuhan dan masalah
pribadi.
Konselor yang memiliki
kekuatan cenderung menampilkan kualitas sikap dan perilaku sebagai berikut.
a.
Dapat
membuat batasan waktu yang pantas dalam konseling.
b.
Bersifat
fleksibel.
c.
Memiliki
identitas diri yang jelas.
7.
Bersikap
Hangat
Yang dimaksud bersikap hangat itu adalah ramah, penuh perhatian,
dan memberikan kasih sayang. Klien yang dating meminta bantuan konselor, pada
umumnya yang kurang mendapat kehangatan dalam hidupnya, sehingga dia kehilangan
kemampuan untuk bersikap ramah, memberikan perhatian, dan kasih sayang. Melalui
konseling klien ingin mendapatkan rasa hangat tersebut dan melakukan “sharing”
dengan konselor. Apabila hal itu diperoleh, maka klien dapat mengalami perasaan
yang nyaman.
8.
Actives
Responsiveness
Keterlibatan konselor dalam proses konseling bersifat dinamis,
tidak pasif. Melalui respon yang aktif, konselor dapat mengkomunikasikan
perhatian dirinya terhadap kebutuhan klien. Disini konselor mengajukan
pertanyaan yang tepat, memberikan umpan balik yang bermanfaat, memberikan
informasi yang berguna, mengemukakan gagasan-gagasan baru, berdiskusi dengan
klien tentang cara mengambil keputusan yang tepat, dan membagi tanggungjawab
dengan klien dalam proses konseling.
9.
Sabar
(Patience)
Melalui kesabaran konselor dalam proses konseling dapat membantu
klien untuk mengembangkan dirinya secara alami. Sikap sabar konselor
menunjukkan lebih memperhatikan diri klien daripada hasilnya. Konselor yang
sabar cenderung menampilkan kualitas sikap dan perilaku yang tidak
tergesa-gesa.[5]
10.
Kepekaan
(Sensitivity)
Kepekaan
terdapat apa yang terdapat “dibelakang” kata-kata klien; terhadap macam-macam
perasaan yang dialami oleh klien, tetapi sering kali tidak dapat diungkapkan
dalam kata-kata. Kepekaan ini lebih penting
daripada metode dan tehnik-tehnik konseling. Orang muda dapat menghadapi
banyak masalah yang menimbulkan kegelisahan dan kebingungan; hanyalah konselor
yang peka terhadap apa yang mereka rasakan akan berhasil.[6]
Konselor yang
sensitif akan mampu mengungkap atau menganalisa apa masalah sebenarnya yang
dihadapi klien.
Konselor yang sensitif memiliki kualitas perilaku sebagai berikut.
a.
Sensitif
terhadap dirinya sendiri.
b.
Mengetahui
kapan, di mana, dan berapa lama mengungkap masalah klien (probing).
c.
Mengajukan
pertanyaan tentang persepsi klien tentang masalah yang dihadapinya.
d.
Sensitif
terhadap sifat-sifat yang mudah tersinggung dirinya.
11.
Kesadaran
Holistik (Holistic Awareness)
Pendekatan holistik dalam konseling berarti bahwa konselor memahami
klien secara utuh dan tidak mendekatinya secara serpihan. Namun begitu bukan
berarti bahwa konselor sebagai seorang ahli dalam segala hal, di sini
menunjukkan bahwa konselor perlu
memahami adanya brbagai dimensi yang menimbulkan masalah klien, dan memahami
bagaimana dimensi yang satu memberi pengaruh terhadap dimensi yang lainnya.
Dimensi-dimensi itu meliputi: fisik, intelektual, emosi, sosial, seksual, dan
moral-spiritual.
Konselor yang memiliki kesadaran holistik cenderung menampilkan
karakteristik sebagai berikut.
a.
Menyadari
secara akurat tentang dimensi-dimensi kepribadian yang kompleks.
b.
Menentukan
cara memberikan konsultasi yang tepat dan mempertimbangkan tentang perlunya
referal (rujukan).
c.
Akrab
dan terbuka terhadap berbagai teori.[7]
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Berdasarkan penjelasan di atas dapat di tarik
simpulan bahwa kualitas pribadi konselor ditandai dengan beberapa karakteristik
sebagai berikut: (a) pemahaman diri, (b) kompeten, (c) memiliki kesehatan
psikilogis yang baik, (d) dapat dipercaya, (e) jujur, (f) kuat, (g) hangat, (h)
responsif, (i) sabar, (j) sensitif, dan (k) memiliki kesadaran yang holistik.
[1] Syamsu
Yusuf dan A. Juntika Nurihsan, Landasan Bimbingan dan Konseling, (Bandung:
PT Remaja Rosdakarya, 2006), cet. II, hal. 37-38.
[4] Winkel, Bimbingan
dan Konseling di Sekolah Menengah, (Jakarta: PT Gramedia, 1985) cet. V,
hal. 87.
[7] Syamsu
Yusuf dan A. Juntika Nurihsan Op. Cit., hal. 43-44.
Komentar
Posting Komentar