Pendidikan Islam masa Umayyah dan Abbasiyah
Pendidikan
Masa Umayyah dan Abbasiyah
Disusun
oleh:
Kelompok
V
Abdul
Lathief 1501210359
Mufida
Rahmi 1501210301
Muhammad
Abizar Al-Gifary 1501210392
BAB I
LATAR BELAKANG
Sejarah Pendidikan Islam erat
kaitannya dengan sejarah Islam, karena proses Pendidikan Islam pada hakekatnya
telah berlangsung sepanjang sejarah Islam, dan berkembang pula seiring dengan
perkembangan sosial budaya umat Islam itu sendiri.
Masjid pada masa Nabi bukan hanya
sebagai tempat ibadah, melainkan juga sebagai tempat menyiarkan ilmu
pengetahuan pada anak-anak dan orang dewasa. Bahkan di masa Dinasti Umayyah dan
Dinasti Abbasiyah, masjid dilengkapi dengan berbagai macam fasilitas pendidikan dari berbagai macam disiplin
keillmuan yang berkembangan pada masanya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pendidikan
Islam Pada Masa Bani Umayyah
Pendidikan
pada masa pemerintah Umayyah bersifat desentrasi yang berarti pendidikan tidak
hanya berpusat di ibukota Negara saja tapi juga dikembangkan secara otonom di
daerah yang telah dikuasai dengan ekspansi teritorial. Sistem pendidikan ketika
itu belum memiliki tingkatan dan standar umum. Kajian ilmu yang ada pada
periode ini berpusat di Damaskus, Kufah, Mekkah, Madinah, Mesir, Cordova dan
beberapa kota lainnya, seperti : Basrah dan Kuffah (Irak), Damsyik dan
Palestina (Syam), Fisfat (Mesir). Tetapi pada masa pemerintahan daulah umayyah
sudah terdapat klarifikasi bentuk pendidikan formal yang dimaksud adalah
kurikulum pendidikan murni hanya mencakup ilmu-ilmu agama, sedangkan pendidikan
nonformal yang dimaksud adalah kurikulum pendidikan memuat kurikulum umum
seperti kedokteran dan sebagainya.
Lembaga
pendidikan pada masa umayyah sudah cukup berkembang dengan masa sebelumnya.
Adapun lembaga pendidikan islam pada masa daulah Umayyah adalah sebagai berikut
:
1. Kuttab/Maktab
Kuttab/Maktab berasal dari kata dasar yang sama,
yaitu kataba yang artinya menulis. Sedangkan kataba/maktab berarti untuk
menulis, atau tempat dimana dilangsungkan kegiatan tulis-menulis. Kebanyakan
para ahli pendidikan Islam sepakat bahwa keduanya merupakan istilah yang sama
dalam arti lembaga pendidikan islam tingkat dasar yang mengajarkan membaca dan
menulis kemudian meningkat pada pengajaran Al-Quran dan pengetahuan agama
tingkat dasar.
2. Mesjid
Semenjak berdirinya pada masa Nabi Muhammad saw,
mesjid telah menjadi pusat kegiatan dan informasi berbagai masalah kaum
Muslimin, baik yang menyangkut pendidikan maupun sosial ekonomi. Namun yang
lebih penting adalah sebagai lembaga pendidikan. Sebagai lembaga pendidikan
mesjid pada awal perkembangannya dipakai sebagai sarana informasi dan penyampaian
doktrin ajaran islam. Peranan mesjid sebagai pusat pendidikan dan pengajaran
senantiasa terbuka lebar bagi setiap orang yang merasa dirinya tetap dan mampu
untuk memberikan atau mengajarkan ilmunya kepada orang-orang yang haus akan
ilmu pengetahuan.
Pada Dinasti Bani Umayyah, mesjid merupakan tempat
pendidikan tingkat menengah dan tingkat tinggi setelah khuttab. Pelajaran yang
diajarkan meliputi Al-Quran, Tafsir, Hadits, dan Fiqh.
3. Majelis
Sastra
Majelis sastra merupakan balai pertemuan yang
disiapkan oleh khalifah dihiasi dengan hiasan yang indah, hanya diperuntukkan
bagi sastrawan dan ulama terkemuka. Dalam balai-balai pertemuan seperti ini
disediakan pokok-pokok persoalan untuk dibicarakan, di diskusikan dan
diperdebatkan.
4. Pendidikan
Istana
Pendidikan yang diselenggarakan dan diperuntukkan
khusus bagi anak-anak khalifah dan para pejabat pemerintah. Kurikulum pada
pendidikan istana diarahkan untuk memperoleh kecakapan memegang kendali
pemerintahan atau hal-hal yang ada sangkut pautnya dengan keperluan dan
kebutuhan pemerintahan, maka kurikulumnya diatur oleh guru dan orang tua murid.[1]
Secara
esensial, pendidikan islam pada masa Dinasti Umayyah ini hampir sama dengan
pendidikan pada masa Khulafa al-Rasyidin. Terlebih lagi ketika kita melihat
periodesasi perkembangan sejarah pendidikan islam pada masa Khulafa al-Rasyidin
dan Dinasti Umayyah di Damaskus termasuk fase pertumbuhan pendidikan islam.
Walaupun
demikian, ada sisi perbedaan dan perkembangannya sendiri. Perhatian para
penguasa di bidang pendidikan agaknya kurang memeperhatikan perkembangannya
yang maksimal, sehingga pendidikan berjalan tidak diatur oleh pemerintah,
tetapi oleh para ulama yang memiliki pengetahuan yang mendalam.[2]
1. Ciri-ciri
Umum Pendidikan Pada Masa Umayyah
Ada
dinamakan yang menjadi karakteristik pendidikan islam pada waktu itu, yakni
dibukanya wacana kalam yang berkembang ditengah-tengah masyarakat. Menurut
Langulung, masa kebangkitan islam ditandai dengan masa kekuasaan syura
khulafa al-rasyidin yang empat. Mereka berhasil mengembalikan kewibaan
Islam ditengah umat Islam sendiri dan ditengah bangsa-bangsa lain saat itu.
Usaha ini diteruskan pada masa Umayyah walaupun sistem pemerintahannya bersifat
pewarisan, sebab khalifah mengangkat orang dalam hal ini putra mahkota untuk menggantikan
posisinya kelak. Masa Umayyah ini berlangsung selama kurang lebih Sembilan
puluh tahun antara tahun 40-132 H atau 661-750 M dengan pusat pemerintahan di
Damaskus.
Berikut
ini beberapa ciri khas corak pendidikan Isalm pada masa Umayyah adalah :
a. Bersifat
Arab.
b. Berusaha
meneguhkan dasar-dasar Agama Islam yang baru muncul.
c. Prioritas
pada ilmu-ilmu naqliyah dan bahasa.
d. Menunjukkan
perhatian pada bahan tertulis sebagai media komunikasi.
e. Membuka
jalan pengajaran bahasa-bahasa asing.[3]
f. Menggunakan
surau (kuttab) dan masjid.[4]
2. Pusat-pusat
Pendidikan Pada Masa Umayyah
Sebagaimana
telah dikemukakan, bahwa meluasnya daerah kekuasaan Islam, dibarengi dengan
usaha penyampaian ajaran Islam kepada penduduknya oleh para sahabat, baik yang
ikut sebagai anggota pasukan, maupun yang kemudian dikirim oleh khilafah dengan
tugas khusus mengajar dan mendidik. Maka diluar Madinah, di pusat-pusat wilayah
yang baru dikuasai, berdirilah pusat-pusat pendidikan di bawah penguasaan para
sahabat yang di kemudian dikembangkan oleh para penggantinya dan seterusnya.
Pusat-pusat
pendidikan tersebut tersebar dikota-kota besar berikut : Makkah dan Madinah
(Hijaz), Basrah dan kufah (Irak), Damsyik dan palestina (syam), dan fistat
(Mesir).
a. Madrasah
Makkah
Sahabat yang pertama kali mengajar disini adalah
Mu’ad bin jabal. Beliau mengajarkan al-Quran dan fiqih. Pada masa khilafah
Abdul Malik bin Marwan, Abdullah bin Abbas pergi ke Mekah dan disini beliau
mengajar Tafsir, Hadits, Fiqih dan Sastra. Diantara murid-murid beliau yang
kelak mengganti posisi beliau adalah Mujahid bin jabbar seorang ahli tafsir,
Atak bin Abu Rabah seorang Faqih dan Tawus bin Kaisan seorang fuqaha dan mufti
di Makkah. Usaha ini di teruskan oleh generasi ketiga seperti Sufyan bin
Uyainah dan Muslim bin Khalid Imam Syafi’I sebelum pergi ke Madinah pernah
berguru di Madrasah Makkah kepada kedua ulama tersebut.
b. Madrasah
Madinah
Madinah ini termasyur dari madrasah-madrasah
lainnya, dikarenakan disinilah pusat berkumpulnya para pembesar sahabat Nabi.
madrasah ini pada masa Khulafa Rasyidin dipimpin oleh Umar bin Khatab,
Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Tsabit dan Abdullah bin Umar. Zaid bin Tsabit
adalah seorang ahli qira’at dan fiqih, beliaulah yang pada masa Abu Bakar dan
Utsman mendapat tugas berat dan mulia, yaitu memimpin pengumpulan dan penulisan
kembali al-Quran. Sedangkan Abdullah bin umar adalah seorang ahli hadits dan di
anggap sebagai pelopor dalam perkembangan ahli hadits pada masa-masa
berikutnya.
c. Madrasah
Basrah
Ulama yang terkenal di Basrah ini adalah Abu Musa
al-Asy’ari seorang ahli Fiqih, Hadits dan Al-Quran dan Anas bin Malik yang
termasyur dalam bidang hadits. Diantara guru madrasah Basrah yang terkenal
adalah Hasan al-Basri disamping seorang ahli fiqih, ahli pidato dan kisah, juga
terkenal sebagai seorang ahli piker dan ahli tasawuf. Ia di anggap sebagai
perintis mazhab ahlu sunah dalam lapangan ilmu kalam. Sedangkan ibn Sirin
adalah seorang ahli hadits dan fiqih yang pernah belajar secara langsung dari
Zaid bin Tsabit dan Annas bin Malik.
d. Madrasah
Kufah
Ulama sahabat yang tinggal di Kufah ialah Ali bin
Abu Thalib dan Abdullah bin Mas’ud. Ali bin Abi Thalib mengurus masalah politik
dan urusan pemerintahan sedangkan Abdullah bin Mas’ud sebagai guru agama. Ibnu
Mas’ud adalah utusan resmi Khilafah Umar untuk menjadi guru agama di Kufah.
Beliau adalah seorang ahli tafsir, fiqih, dan banyak meriwayatkan hadits.
Madrasah ini pada perkembangan selanjutnya melahirkan Abu Hanifah, salah
seorang pendiri mazhab Ahli Sunnah.
e. Madrasah
Damsyik dan Palestina (Syam)
Setelah negeri Syam menjadi bagian negeri Islam dan
penduduknya banyak memeluk agama Islam, maka Khalifah Umar bin Khattab mengirimkan
tiga orang guru agama ke negeri ini, yaitu Muaz bin Jabal, Ubadah dan Abu
Darda. Ketiga sahabat itu mengajar di Syam ada tempat-tempat yang berbeda,
yaitu Abu Darda di Damaskus, Muaz bin Jabal di Palestina dan Ubadah di Hims.
Kemudian mereka digantikan oleh murid-muridnya, akhirnya madrasah ini kelak
melahirkan imam penduduk Syam, yaitu Abdurrahman Al-Auza’I yang ilmunya
sederajat dengan imam Malik dan Abu Hanifah.
f. Madrasah
Fistat
Sahabat yang pertama kali mendirikan madrrasah dan
menjadi guru di Mesir adalah Abdurrahman bin Amr bin Al-Ash. Beliau adalah
seorang ahli hadits yang bukan hanya menghapal hadits-hadits Nabi tapi beliau
juga menuliskannya dalam catatan pribadinya, sehingga ia tidak lupa atau khilaf
dalam meriwayatkan hadits-hadits itu kepada muridnya. Guru berikutnya yang
terkenal sesudahnya adalah Yazid bin Abu Habib Al-Nuby dan Abdillah bin Abu
Ja’far bin Rabi’ah. Diantara murid Yazid yang terkenal adalah Abdullah bin
Lahi’ah dan Al-lais bin said yang dikenal sebagai ulama yang mempunyai madzhab
tersendiri dalam bidang fiqih sebagaimana al-Auza’I di Syam.[5]
B. Pendidikan
Islam pada Masa Bani Abbasiyah
1. Sejarah
Bani Abbasiyah
Dinasti
Abbasiyah mewarisi imperium dari Dinasti Umayyah. Hasil besar yang telah
dicapai oleh Dinasti Abbasiyah dimungkinkan karena landasannya telah di
persiapkan oleh Umayyah dan Abbasiyah memanfaatkannya.[6]
Dinasti
Abbasiyah berkedudukan di Bagdad. Secara turun temurun kurang lebih tiga puluh
tujuh khalifah pernah berkuasa di negeri ini. Pada dinasti ini Islam mencapai puncak kejayaannya dalam
segala bidang.
Pemerintahan
Abbasiyyah adalah keturunan daripada al-Abbas, paman Nabi SAW. Pendiri kerajaan
al-Abbas ialah Abdullah as-Saffah bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin
al-Abbas, dan pendiriannya dianggap suatu kemenangan bagi ide yang dianjurkan
oleh kalangan Bani Hasyim setelah kewafatan Rasulullah SAW, agar jabatan
khalifah diserahkan kepada keluarga Rasul dan sanak-saudaranya.[7]
Kekuasaan
dinasti Bani Abbasiyah, sebagaimana disebutkan melanjutkan kekuasaan dinasti
Bani Umayyah. Kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, dari
tahun 132 H (750 M) s.d. 656 H (1258 M). Selama dinasti ini berkuasa, pola
pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik,
sosial, dan budaya.[8]
2. Kemajuan
Pendidikan Bani Abbasiyah
Dari
perjalanan dan rentang sejarah, ternyata Bani Abbasiyah dalam sejarah lebih
banyak berbuat ketimbang Bani Umayyah. Pergantian Dinasti Umayyah kepada
Dinasti Abbasiyah tidak hanya sebagai pergantian kepemimpinan, lebih dari itu
telah mengubah, menorah wajah Dunia Islam dalam refleksi kegiatan ilmiah.
Pengembangan ilmu pengetahuan pada Bani Abbasiyahmerupakan iklim pengembangan
wawasan dan disiplin keilmuan.[9]
Kontribusi ilmu terlihat pada upaya
Harun Al-Rasyid dan putranya Al-Makmun ketika mendirikan sebuah akademi pertama
dilengkapi pusat peneropong bintang, perpustakaan terbesar yang di beri nama
Baitul Hikmah dan dilengkapi pula dengan lembaga untuk penerjemahan.[10]
a. Lembaga
dan Kegiatan Ilmu Pengetahuan
Sebelum Dinasti Abbasiyah, pusat kegiatan Dunia
Islam selalu bermuara pada masjid. Masjid dijadikan centre of edication. Pada
Dinasti Abbasiyah inilah mulai adanya pengembangan keilmuan dan teknologi
diarahkan ke dalam ma’had. Lembaga ini kita kenal dua tingkatan yaitu :
1) Maktab/Kuttab
dan masjid, yaitu lembaga pendidikan terendah, tempat anak-anak mengenal
dasar-dasar bacaan, menghitung dan menulis serta anak remaja belajar
dasar-dasar ilmu agama.
2) Tingkat
pedalaman, para pelajar yang ingin memperdalam ilmunya, pergi ke luar daerah
atau ke masjid-masjid bahkan ke rumah-rumah gurunya.
Pada perkembangan selanjutnya mulailah
dibuka madrasah-madrasah yang dipelopori Nizhamul Muluk yang memerintah pada
tahun 456-485 H. Lembaga inilah yang kemudian berkembang pada masa Dinasti
Abbasiyah. Nizhamul Muluk merupakan pelopor pertama yang mendirikan sekolah
dalam bentuk yang ada seperti sekarang ini dengan nama madrasah. Madrasah ini
dapat ditemukan di Bagdad, Balkan, Naishabur, Hara, Isfahan, Basrah, Mausil dan
kota-kota lainnya. Madrasah yang didirikan ini mulai dari tingkat rendah,
menengah, serta meliputi segala bidang ilmu pengetahuan.
b. Corak
Gerakan Keilmuan
Gerakan keilmuan pada Dinasti Abbasiyah
lebih bersifat spesifik. Kajian keilmuan yang kemanfaatannya bersifat keduniaan
bertumpu pada ilmu kedokteran, disamping kajian yang bersifat pada Al-Qur’an
dan Al-Hadis; sedang astronomi, mantik dan sastra baru dikembangkan dengan
penerjemahan dari Yunani.
c. Kemajuan
dalam Bidang Agama
Pada masa Dinasti Abbasiyah, ilmu dan
metode tafsir mulai berkembang terutama dua metode penafsiran, yaitu tafsir bi
al-ma’tsur dan tafsir bi al-ra’yi.
Dalam bidang hadis, pada zamannya hanya
bersifat penyempurnaan, pembukuan dari catatan dan hafalan para sahabat. Pada
zaman ini juga mulai diklasifikasikan secara sistematis dan kronologis.
Pengklasifikasian itu secara ketat dikualifikasikan sehingga kita kenal dengan
klasifikasi hadis Shahih, Dhaif, dan Maudhu. Bahkan dikemukakan pula kritik
sanad dan matan, sehingga terlihat jarah dan takdil rawi yang meriwayatkan hadis
tersebut.
Dalam bidang fiqih, pada masa ini lahir
fuqaha legendaris yang kita kenal, seperti Imam Hanifah (700-767 M), Imam Malik
(713-795 M), Imam Syafei (767-820 M) dan Imam Ahmad Ibnu Hambal (780-855 M).
Ilmu lughah tumbuh berkembang dengan
pesat pula karena bahasa Arab yang semakin dewasa memerlukan suatu ilmu bahasa
yang menyeluruh. Sebagai kelanjutan dari masa Amawiyah I di Damaskus.
d. Kemajuan
Ilmu Pengetahuan, Sains dan Teknologi
Kemajuan ilmu teknologi (sains)
sesungguhnya telah direkayasa oleh ilmu Muslim. Kemajuan tersebut adalah
sebsgai berikut.
1) Astronomi,
ilmu ini melalui karya India Sindhind kemudian diterjemahkan oleh Muhammad Ibnu
Ibrahim Al-Farazi (777 M). Ia adalah astronom Muslim pertama yang membuat
astrolabe, yaitu alat untuk mengukur ketinggian bintang. Di samping itu, masih
ada ilmuwan-ilmuwan Islam lainnya, seperti Ali ibnu Isa Al-Asturlabi,
Al-Farghani, Al-Battani, Umar Al-Khayyam dan Al-Tusi.
2) Kedokteran,
pada masa ini dokter pertama yang terkenal adalah ibnu Rabban Al-Tabari. Pada
tahun 850 ia mengarang buku Firdaus Al-Hikmah. Tokoh lainnya adalah Al-Razi,
Al-Farabi, dan Ibnu Sina.
3) Ilmu
kimia. Bapak ilmu kimia Islam adalah Jabir ibnu Hayyan (721-815 M). Sebenarnya
banyak ahli kimia Islam ternama lainnya seperti Al-Razi, Al-Tuqrai yang hidup
pada abad ke-12 M.
4) Sejarah
dan geografi. Pada masa Abbasiyah sejarawan ternama abad ke-3 H adalah Ahmad
bin Al-Yakubi, Abu Jafar Muhammad bin Jafar bin Jarir Al-Tabari. Kemudian, ahli
ilmu bumi yang masyhur adalah ibnu Khurdazabah.[11]
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Dari
pemaparan materi di atas dapat ditarik simpulan bahwa Pendidikan pada masa
pemerintah Umayyah bersifat desentrasi yang berarti pendidikan tidak hanya
berpusat di ibukota Negara saja tapi juga dikembangkan secara otonom di daerah
yang telah dikuasai dengan ekspansi teritorial.
Adapun
lembaga pendidikan islam pada masa daulah Umayyah adalah kuttab/maktab, mesjid,
majelis sastra maupun pendidikan istana.
Ciri
khas corak pendidikan Islam pada masa Umayyah adalah bersifat Arab, berusaha
meneguhkan dasar-dasar Agama Islam yang baru muncul, prioritas pada ilmu-ilmu
naqliyah dan Bahasa, menunjukkan perhatian pada bahan tertulis sebagai media
komunikasi, membuka jalan pengajaran bahasa-bahasa asing, menggunakan surau
(kuttab) dan masjid.
Pusat-pusat
pendidikan tersebut tersebar dikota-kota besar berikut: Makkah dan Madinah
(Hijaz), Basrah dan kufah (Irak), Damsyik dan palestina (syam), dan fistat
(Mesir).
Dinasti
Abbasiyah berkedudukan di Bagdad. Secara turun temurun kurang lebih tiga puluh
tujuh khalifah pernah berkuasa di negeri ini. Pada dinasti ini Islam mencapai puncak kejayaannya dalam
segala bidang.
Pada
Dinasti Abbasiyah inilah mulai adanya pengembangan keilmuan dan teknologi
diarahkan ke dalam ma’had. Lembaga ini kita kenal dua tingkatan yaitu: Maktab/Kuttab
dan masjid, dan tingkat pedalaman.
Pada
masa Dinasti Abbasiyah, banyak ilmu dalam bidang agama mulai berkembang, seperti
tafsir, hadis, fiqih, serta ilmu lughah. Dalam bidang ilmu pengetahuan, sains
dan teknologi pun pula ikut berkembang, seperti astronomi, kedokteran, ilmu
kimia, serta sejarah dan geografi.
DAFTAR PUSTAKA
Mufrodi, Ali, 1997. Islam di Kawasan Kebudayaan Arab. Surabaya :
Logos Wacana Ilmu.
Thohir, Ajid, 2004. Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia
Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
Syalabi, A., 1997. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Jakarta : PT
Alhusna Zikra.
Yatim, Badri, 2003. Sejarah Perdaban Islam. Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada.
Langulung, H., 1998, Asas-Asas Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka
Al-Husna
Langulung, H., 2001, Pendidikan Islam dalam Abad ke-21, Jakarta:
Al-Husna Zikra.
Suwendi, 2004, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta:
Rajawali Pers.
Suwito & Fauzan, 22008, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, Jakarta:
Kencana Prenada Media Group
Zuhairani, 2004, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara
[1] Suwito, Sejarah Sosial
Pendidikan Islam, 2008, hal. 99-100.
[2] Suwendi, Sejarah dan Pemikiran
Pendidikan Islam, 2004, hal. 14.
[3] Langulung, Asas-Asas
Pendidikan Islam, 1998, hal. 69-74.
[4] Langulung, Pendidikan Islam
dalam Abad ke-21, 2001, hal. 18.
[5] Zuhairani, Sejarah Pendidikan
Islam, 2004, hal. 71-75.
[6] Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban
di Kawasan Dunia Islam , cet. I, 2004, hal. 44.
[7] A. Syalabi, Sejarah dan
Kebudayaan Islam 3, cet. IX, 1997,
hal. 1.
[8] Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam, cet. XIV, 2003, hal. 49.
[9] Op. Cit., Ajid Thohir,
hal. 50.
[10] Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, cet.
I, 1997, hal. 102.
[11] Op. Cit., Ajid Thohir, hal.
55.
Komentar
Posting Komentar