Masyarakat Madani
KATA PENGANTAR
Puji
dan syukur kami panjatkan kepada Allah swt. Karena dengan rahmat dan
karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik guna memenuhi
tugas mata kuliah Pengantar Studi Islam. Sholawat serta salam tidak lupa
penulis sampaikan kepada Junjungan kita Baginda Nabi Muhammad saw. beserta
anggota keluarga dan para sahabatnya.
Dengan
selesainya makalah yang berjudul “Masyarakat Madani” ini, penulis ingin
menyampaikan rasa terima kasih kepada Bapak M. Daud
Yahya, S.Ag, M.Ag selaku
dosen pengampu mata kuliah Pengantar Studi Islam yang telah memberikan dorongan
dan saran-saran yang sangat berharga dalam penulisan dan penyusunan makalah
ini.
Kami sebagai penyusunpun menyadari bahwa makalah ini masih
jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kami mengaharapkan saran dan kritik
dari para pembaca demi kesempurnaannya makalah ini. Terlepas dari kekurangan
makalah ini, kami berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca dan
menjadi amal saleh bagi penulis.
Banjarmasin, Maret
2016
Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Adanya
beberapa kasus yang berkenaan dengan penindaasan rakyat yang dilakukan oleh
penguasa merupakan realitas yang sering kita lihat dan kita dengar dalam setiap
pembertitaan pers, baik melalui media elektronik maupun media cetak. Sebut saja
kasus penindasan yang terjadi di Indonesia ketika Orde Baru masih
berkuasa, yakni penindasan terhadap
keberadaanhak tanah rakyat yang diambil oleh penguasa dengan alasan
pembangunan. Atau juga realitas pengekangan dan pembungkaman pers dengan adanya
pembredelan beberapa media massa oleh penguasa, serta pembantaian para ulama
(kyai) dengan dalih dukun santet sekitar tahun 1999 yang dilakukan oleh
kelompok oknum yang tidak bertanggung jawab.
Kemungkinan
akan adanya kekuatan civil sebagai bagian dari komunitas bangsa ini akan
mengantarkan pada sebuah wacana yang saat ini sedang berkembang, yakni
Masyarakat Madani. Wacana Masyarakat Madani ini, merupakan wacanan yang telah
mengalami proses yang panjang. Ia muncul bersamaan dengan proses modernisasi,
terutama oada saat terjadi reformasi dari masyarakat feodal menuju masyarakat
Barat modern, yang saat itu lebih dikenal dengan istilah civil society.
B.
Rumusan Masalah
Dalam
Makalah ini akan membahas mengenai beberapa persoalan, diantaranya:
1. Apa
pengertian dari Masyarakat Madani ?
2. Bagaimana
sejarah dan perkembangan Masyarakat Madani ?
3. Karakteristik
Masyarakat Madani ?
4. Apa
saja pilar penegak Masyarakat Madani ?
5. Masyarakat
Madani dan Demokratisasi ?
6. Bagaimana
Masyarakat Madani di Indonesia ?
C.
Tujuan Penulisan
Penulisan
makalah ini bertujuan untuk:
1. Untuk
mengetahui pengertian dari Masyarakat Madani ?
2. Untuk
mengetahui bagaimana sejarah dan perkembangan Masyarakat Madani ?
3. Untuk
mengetahui karakteristik Masyarakat Madani ?
4. Untuk
mengetahui apa saja pilar penegak Masyarakat Madani ?
5. Untuk
mengetahui Masyarakat Madani dan Demokratisasi ?
6. Untuk
mengetahui bagaimana Masyarakat Madani di Indonesia ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Masyarakat Madani
Dalam
mendefinisikan terma masyarakat madani ini sangat bergantung pada
sosio-kultural suatu bangsa, karena bagaimanapun konsep masyarakat madani
merupakan suatu bangunan terma yang lahir dari sejarah bangsa Eropa Barat.
Sebagai
titik tolak, di sini akan dikemukakan beberapa definisi masyarakat madani dari
berbagai pakar di berbagai negara yang menganalisa dan mengkaji fenomena
masyarakat madani ini.
Zbigniew
Rau mengatakan dengan latar belakang kajiaan pada kawasan Eropa Timur dan Uni
Soviet, bahwa yang dimaksud dengan masyarakat madani merupakan suatu masyarakat
yang berkembang dari sejarah, yang mengandalkan ruang di mana individu dan
perkumpulan tempat mereka bergabung, bersaing satu sama lain guna mencapai
nila-nilai yang mereka yakini, ruang ini timbul di antara hubungan-hubungan
yang merupakan hasil komitmen keluarga dan hubungan-hubungan yang menyangkut
kewajiban mereka terhadap negara. Oleh karenanya, maka yang dimaksud masyarakat
madani adalah sebuah ruang yang bebas dari pengaruh keluarga dan kekuasaan
negara. Tiadanya pengaruh keluarga dan kekuasaan negara dalam masyarakat madani
ini diekspresikan dalam gambaran ciri-cirinya, yakni individualisme, pasar (market)
dan pluralisme. Batasan yang dikemukakan oleh Rau ini menekankan pada adanya
ruang hidup dalam kehidupan sehari-hari serta memberikan integritas sistem
nilai yang harus ada dalam masyarakat madani, yakni individualisme, pasar (market)
dan pluralisme.
Han
Sung-joo dengan latar belakang kasus Korea Selatan mengatakan bahwa masyarakat
madani merupakan sebuah kerangka hukum yang melindungi dan menjamin hak-hak
dasar individu, perkumpulan sukarela yang terbebas dari negara, suatu ruang
publik yang mampu mengartikulasikan isu-isu politik, gerakan warga negara yang
mampu mengandalikan diri dan independen, yang secara bersama-sama mengakui
norma dan budaya yang menjadi identitas dan solidaritas yang terbentuk serta
pada akhirnya akan terdapat kelompok inti dalam civil society ini.[1]
Di
Indonesia, terma masyarakat madani mengalami penerjemahan yang berbeda-beda
dengan sudut pandangn yang berbeda pula, seperti masyarakat madani sendiri,
masyarakat sipil, masyarakat kewargaan, masyarakat warga, dan civil society.
Secara
umum dapat dikatakan bahwa masyarakat madani merupakan sistem sosial yang subuh
yang didasarkan kepada prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara
kebebasan perorangan dengan kestabilan masyarakat. Masyarakat mendorong daya
usaha serta inisiatif individu baik dari segi pemikiran, seni, pelaksanaan
pemerintah mengikuti undang-undang dan bukan nafsu atau keinginan individu
menjadikan keterdugaan atau predictability serta ketulusan atau transparanncy
sistem.[2]
B.
Sejarah dan Perkembangan
Masyarakat Madani
Untuk
memahami masyarakat madani terlebih dahulu harus dibangun paradigma bahwa
konsep masyarakat madani ini bukan merupakan suatu konsep yang final dan sudah
jadi, melainkan ia merupakan sebuah wacana yang harus dipahami sebagai sebuah
proses. Oleh karena itu, untuk memahaminya haruslah dianalisis secara historik.
Seperti
telah dipaparkan di atas, bahwa wacana masyarakat madani merupakan konsep yang
berasal dari pergolakan politik dan sejarah masyarakat Eropa Barat yang
mengalami proses transformasi dari pola kehidupan feodal menuju kehidupan
masyarakat industri kapitalis. Jika dicari akar sejarahnya dari awal, maka
perkembangan wacana masyarakat madani dapat dirunut mulai dari Cicero sampai
pada Anto- nio Gramsci dan deTocquiville. Bahkan menurut Manfred Ridel, Cohen
dan Arato serta M. Dawam Rahardjo, wacana masyarakat madani sudah mengemuka
pada masa Aristoteles. Pada masa ini (Aristoteles, 384-322 SM) masyarakat
madani dipahami sebagai sistem kenegaraan dengan menggunakan istilah
koinonia politike, yakni sebuah komunitas politik tempat warga dapat
terlibat langsung dalam berbagai percaturan ekonomi-politik dan pengambilan
keputusan. Istilah koinonia politike yang dikemukakan oleh Aristoteles
ini digunakan untuk menggambarkan sebuah masyarakat politis dan etis dimana
warga negara di dalamnya berkedudukan sama di depan hukum. Hukum sendiri
dianggap etos, yakni seperangkat nilai yang disepakati tidak hanya
berkaitan dengan prosedur politik, tetapi juga sebagai substansi dasar
kebijakan (virtue) dari berbagai bentuk interaksi di antara warga
negara.[3]
Pada
tahun 1767, wacana masyarakat madani ini dikembangkan oleh Adam Ferguson dengan
mengambil konteks sosio-kultural dan politik Skotlandia. Ferguson menekankan
masyarakat madani pada sebuah visi etis dalam kehidupan bermasyarakat. Pemahamannya
ini digunakan untuk mengantisipasi perubahan sosial yang diakibatkan oleh
revolusi industri dan munculnya kapitalisme serta mencoloknya perbedaan antara
publik dan individu. Dengan konsepnya ini, Ferguson berharap bahwa publik
memiliki spirit untuk menghalangi munculnya kembali despotisme, karena dalam
masyarakat madani itulah solidaritas sosial muncul dan diilhami oleh sentimen
moral dan sikap saling menyayangi serta saling mempercayai antar warganegara
secara alamiah.[4]
Perkembangan
civil society selanjutnya dikembangkan oleh G.W.F Hegel (1770-1831 M), Kari
Marx (1818-1883 M) dan Antonio Gramsci (1891-1837 M). Wacana masyarakat madani
yang dikembangkan oleh ketiga tokoh ini menekankan pada masyarakat madani
sebagai elemen ideologi kelas dominan. Pemahaman ini lebih merupakan sebuah
reaksi dari model pemahaman yang dilakukan oleh Paine (yang menganggap
masyarakat madani sebagai bagian terpisah dari negara). Menurut Hegel
masyarakat madani merupakan kelompok subordinatif dari negara. Pemahaman ini, menurut
Ryas Rasyid erat kaitannya dengan fenomena masyarakat borjuasi Eropa (burgerlische
gessellschaft) yang pertumbuhannya ditandai dengan perjuangan melepaskan
dari dari dominasi negara.[5]
Periode
berikutnya, wacana masyarakat madani dikembangkan oleh Alexis de 'Tocqueville
(1805-1859 M) yang berdasarkan pada pengalaman demokrasi Amerika, dengan
mengembangkan teori masyarakat madani sebagai entitas penyeimbang kekuatan
negara. Bagi de 'Tocqueville, kekuatan politik dan masyarakat madani-lah yang
menjadikan demokrasi di Amerika mempunyai daya tahan. Dengan terwujudnya
pluralitas, kemandirian dan kapasitas politik di dalam masyarakat madani, maka
warga negara akan mampu mengimbangi dan mengontrol kekuatan negara.[6]
C.
Karakteristik Masyarakat
Madani
Penyebutan karakteristik masyarakat madani dimaksudkan untuk menjelaskan bahwa dalam merealisasikan
wacana masyarakat
madani diperlukan prasyarat-prasyarat yang menjadi nilai universal dalam penegakan masyarakat madani. Prasyarat ini tidak bisa dipisahkan satu sama lain atau hanya mengambil salah satunya saja,
melainkan merupakan satu kesatuan yang integral yang menjadi dasar dan nilai
bagi eksistensi masyarakat madani, karakteristik
tersebut antara lain adalah adanya Free Public Sphere, Demokratis,
Toleransi, Pluralisme, keadilan Sosial (social justice).
1.
Free Public Sphere
Yang, dimaksud dengan free public sphere adalah
adanya ruang publik yang bebas sebagai sarana dalam mengemukakan pendapat. Pada
ruang publik yang bebaslah individu dalam posisinya yang setara mampu melakukan
transaksi-transaksi wacana dan praksis politik tanpa mengalami
distorsi dan kekhawatiran. Aksentuasi prasyarat inin dikemukakan oleh Arendt
dan Habermas. Lebih lanjut dikatakan bahwa ruang publik secara teoritis bisa
diartikan sebagai wilayah dimana masyarakat sebagai warga negara memiliki akses
penuh terhadap setiap kegiatan publik warga negara berhak melakukan kegiatan
secara merdeka dalam menyampaikan pendapat, berserikat, berkumpul serta mempublikasikan
informasi kepada publik.
Sebagai sebuah prasyarat, maka untuk mengembangkan dan
mewujudkan masyarakat madani dalam sebuah tatanan masyarakat, maka free
public sphere menjadi salah satu bagian yang harus diperhatikan. Karena dengan
menafikan adanya ruang publik yang bebas dalam tatanan masyarakat madani, maka
akan memungkinkan terjadinya pembungkaman kebebasan warga negara dalam menyalurkan aspirasinya
yang berkenaan dengan kepentingan umum oleh penguasa yang tiranik dan otoriter.
2.
Demokratis
Demokratis
merupakan satu entitas yang menjadi penegak wacana masyarakat madani, dimana
dalam menjalani kehidupan, warga negara memiliki kebebasan penuh untuk
menjalankan aktivitas kesehariannya, termasuk dalam berinteraksi dengan
lingkungannya. Demokratis berarti masyarakat dapat berlaku santun dalam pola
hubungan interaksi dengan masyarakat sekitarnya dengan tidak mempertimbangkan
suku, ras dan agamai Prasyarat demokratis ini banyak dikemukakan oleh para
pakar yang mengkaji fenomena masyarakat madani. Bahkan demokrasi merupakan
salah satu syarat mutlak bagi penegakan masyarakat madani. Penekanan demokrasi
(demokratis) di sini dapat mencakup sebagal bentuk aspek kehidupan seperti
politik, sosial, budaya pendidikan, ekonomi dan sebagainya.
Azyumardi
Azra pun menyebutkan bahwa masyarakat madani (civil society) lebih dari
sekadar gerakan-gerakan pro demokrasi. Masyarakat madani juga mengacu ke
kehidupan yang berkualitas dan tamaddun (civility). Civilitas
meniscayakan toleransi, yakni kesediaan individu-individu untuk menerima
pandangan-pandangan politik dan sikap sosial yang berbeda.
Sebagai
sebuah prasyarat penegakan masyarakat madani, maka pralarisme harus dipahami
secara mengakar dengan menciptakan sebuah tatanan kehidupan yang menghargai dan
menerima kemajemukan dalam konteks kehidupan sehari-hari; Pluralisme tidak bisa
dipahami hanya dengan sikap mengakui dan menerima kenyataan masyarakat yang
majemuk, tetapi harus disertai dengan sikap yang tulus untuk menerima kenyataan
pluralisme itu sebagai bernilai positif, merupakan rahmat Tuhan.
Menurut Nurcholish
Madjid, konsep pralarisme ini merupakan prasyarat bagi tegaknya masyarakat
madani. Pluralisme menurutnya adalah pertalian sejati kebhinekaan dalam
ikatan-ikatan keadaban (genuine engadgement of diuersities within the bonds of civility). Bahkan pluralisme
adalah juga suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia antara lain melalui
mekanisme pengawasan dan pengimbangan (check
and balance).[7]
5.
Keadilan Sosial (Social Justice)
Keadilan
dimaksudkan untuk menyebutkan keseimbangan dan pembagian yang proporsional
terhadap terhadap hak dan kewajiban setiap warga negara yang mencakup seluruh
aspek kehidupan. Hal ini memungkinkan tidak adanya monopoli dan pemusatan salah
satu aspek kehidupan pada satu kelompok masyarakat. Secara esensial, masyarakat
memiliki hak yang sama dalam memperoleh kebijakan-kebijakan yang ditetapkan
oleh pemerintah (penguasa).[8]
D.
Pilar
Penegak Masyarakat Madani
Yang dimaksud dengan pilar penegak masyarakat madani adalah
institusi-institusi yang menjadi bagian dari social control yang berfungsi mengkritik
kebijakan-kebijakan penguasa yang diskriminatif serta mampu memperjuangkan
aspirasi masyarakat yang tertindas. Dalam penegakan masyarakat madani
pilar-pilar tersebut menjadi prasyarat mutlak bagi terwujudnya kekuatan
masyarakat madani- Pilar-pilar tersebut antara lain adalah Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM), Pers, Supremasi
Hukum, Perguruan Tinggi dan Partai Politik.
Lembaga
Swadaya Masyarakat; adalah institusi sosial yang dibentuk oleh swadaya masyarakat yang tugas
esensinya adalah membantu dan memperjuangkan aspirasi dan kepentingan
masyarakat yang tertindas. Selain itu LSM dalam konteks masyarakat madani juga bertugas mengadakan empowering (pemberdayaan) kepada
masyarakat mengenai hal-hal yang
signifikan dalam kehidupan sehari-hari, seperti advokasi, pelatihan dan sosialisasi program-program pembangunan masyarakat.
Pers; merupakan institusi yang penting dalam penegakan
masyarakat madani, karena memungkinkannya dapat mengkritisi dan menjadi bagian
dari social
control yang dapat menganalisa serta mempublikasikan berbagai
kebijakan pemerintah yang berkenaan dengan warganegaranya. Hal tersebut pada
akhirnya mengarah pada adanya independensi pers serta mampu menyajikan berita
secar objektif dan transparan.
Supremasi
Hukum; Setiap warga
negara, baik yang duduk dalam formasi pemerintahan maupun sebagai rakyat, harus
tunduk kepada (aturan) hukum. Hal tersebut berarti bahwa perjuangan untuk
mewujudkan hak dan kebebasan antar warga negara dan antara warga negara dengan
pemerintah haruslah dilakukan dengan cara-cara yang damai dan sesuai dengan
hukum yang berlaku.
Selain itu, supremasi hukum juga memberikan jaminan
dan perlindungan terhadap segala bentuk penindasan individu dan kelompok yang
melanggar norma-norma hukum dan segala bentuk penindasan hak asasi manusia,
sehingga terpola bentuk kehidupan yang civilized.
Perguruan
Tinggi; yakni tempat di
mana civitas akademikanya (dosen dan mahasiswa) merupakan bagian dari kekuatan
sosial dan masyarakat madani yang bergerak pada jalur moral force untuk menyalurkan aspirasi masyarakat dan mengkritisi berbagai kebijakan-
kebijakan pemerintah, dengan catatan gerakan yang dilancarkan oleh mahasiswa
tersebut masih pada jalur yang benar dan memposisikan diri pada rel dan
realitas yang betul-betul objektif, menyuarakan kepentingan masyarakat (public).
Sebagai bagian dari pilar penegak masyarakat madani,
maka Perguruan Tinggi memiliki tugas utama mencari dan menciptakan ide- ide
alternatif dan konstruktif untuk dapat menjawab problematika yang dihadapi oleh
masyarakat. Di sisi lain Perguruan Tinggi memiliki "Tri Dharma Perguruan
Tinggi" yang harus dapat diimplementasikan berdasarkan kebutuhan
masyarakat (public).[9]
Partai
Politik; Merupakan wahana bagi warga negara untuk dapat
menyalurkan inspirasi politiknya. Sekalipun memiliki tendensi politis dan rawan
akan hegemoni negara, tetapi bagaimanapun sebagai sebuah tempat ekspresi
politik warga negara, maka pertai politik ini menjadi prasyarat bagi tegaknya
masyarakat madani.[10]
E.
Masyarakat
Madani dan Demokrasi
Masyarakat
madani juga dipahami sebagai sebuah tatanan kehidupan yang menginginkan
kesejajaran hubungan antar warga negara dengan negara atas dasar prinsip saling
menghormati. Masyarakat madani berkeinginan membangun hubungan yang konsultatif
bukan konfrontatif antara warga negara dan negara. Masyarakat madani juga tidak
hanya bersikap dan berprilaku sebagai citizen yang memiliki hak dan
kewajiban, melainkan juga harus menghormati equal right, memperlakukan
semua warga negara sebagai pemegang hak dan kebebasan yang sama.
Hubungan
antara masyarakat madani dengan demokrasi (demokratisasi), menurut
Dawam—bagaikan dua sisi mata uang, keduanya bersifat koeksistensi. Hanya dalam
masyarakat madani yang kuatlah demokrasi dapat ditegakan dengan baik dan hanya
dalam suasana demokratislah civil society dapat berkembang secara wajar.
Dalam
konteks ini, Nurcholish Madjid pun memberikan metafor tentang hubungan dan
keterkaitan antara masyarakat madani dengandemokratisasi ini. Menurutnya
masyarakat madani merupakan "rumah" persemaian demokrasi. Perlambang
demokrasinya adalah pemilihan umum (pemilu) yang bebas dan rahasia. Namun
demokrasi tidak hanya bersemayam dalam pemilu, sebab jika demokrasi harus
mempunyai "rumah", maka rumahnya adalah masyarakat madani.
Begitu
kuatnya kaitan antara masyarakat madani dengan demokratisasi, sehingga masyarakat
madani kemudian dipercaya sebagai "obat mujarab" bagi demokratisasi,
terutama di negara yang demokrasinya mengalami ganjalan akibat kuatnya hegemoni
negara. Tidak hanya itu, masyarakat madani kemudian juga dipakai sebagai cara
pandang untuk memahami universalitas fenomena demokratisasi di berbagai kawasan
dan negara.[11]
Untuk
menciptakan masyarakat madani yang kuat dalam konteks pertumbuhan dan
perkembangan demokrasi diperlukan strategi penguatan civil society lebih
ditujukan ke arah pembentukan negara secara gradual dengan suatu masyarakat
politik yang demokratis- partisipatoris, reflektif dan dewasa yang mampu
menjadi penyeimbang dan kontrol atas kecenderungan eksesif negara. Dalam
masyarakat madani, warga negara disadarkan posisinya sebagai pemilik kedaulatan
dan haknya untuk mengontrol pelaksanaan kekuasaan yang mengatasnamakan rakyat.
Gagasan seperti ini mensyaratkan adanya ruang publik vang bebas, sehingga
setiap individu dalam masyarakat madani memiliki kesempatan untuk memperkuat
kemandirian dan kemampuannya dalam pengelolaan wilayah.
Dalam masyarakat madani terdapat nilai-nilai universal
tentang pluralisme yang kemudian menghilangkan segala bentuk kecendrungan
partikularisme dan sektarianisme. Hal ini dalam proses demokrasi menjadi elemen
yang sangat signifikan, di mana masing-masing individu, etnis dan golongan
mampu menghargai kebhinekaan dan menghormati setiap keputusan yang diambil oleh
salah satu golongan atau individu. Bahkan menurut Hikam, dalam masyarakat
madani tidak hanya kecenderungan partikularisme dan sektarianisme saja yang
harus dihindari tetapi juga totalisme dan uniformisme itu ditolak. Karenanya ia
menghargai kebebasan individu namun juga menolak anarkhisme, memperjuangkan
kebebasan berekspresi namun juga menuntut adanya tanggung jawab etik, menolak
intervensi negara tetapi juga memerlukan negara sebagai pelindung dan penangkal
konflik baik internal maupun eksternal.
Pada dasarnya dalam proses penegakan demokrasi
(demokratisasi) secara keseluruhan, tidaklah bertolak penuh pada penguatan dan
kekuatan masyarakat madani sebab ia bukan "penyelesai" tunggal di
tengah kompleksitas problematika demokrasi, masyarakat madani lebih bersifat
komplementer dari berbagai strategi demokrasi yang selama ini sudah berkembang.
Bedanya, jika dalam strategi "konvensional" lebih menekankan
pada formulasi dari "atas", dengan bentuk institusionalisasi
lembaga-lembaga politik, distribusi kekuasaan pemerintah, perwakilan berbagai
golongan dan sebagainya. Sedangkan masyarakat madani lebih merupakan strategi
yang berporos pada lapisan "bawah", yakni dengan bentuk pemberdayaan
dan penguatan masyarakat sipil.[12]
Jadi membicarakan hubungan demokrasi dengan masyarakat
madani merupakan discourse yang memiliki hubungan korelatif dan
berkailan erat. Dalam hal ini Arief Budiman mengatakan bahwa berbicara mengenai
demokrasi biasanya orang akan akan berbicara tentang interaksi antara negara
dan masyarakat madani. Asumsinya adalah, jika masyarakat madani vis a vis
negara relatif kuat maka demokrasi akan tetap berlangsung. Sebaliknya, jika
negara kuat dan masyarakat madani lemah maka demokrasi tidak berjalan. Dengan
demikian, demokratisasi dipahami sebagai proses pemberdayaan masyarakat madani.[13]
F.
Masyarakat
Madani di Indonesia
Berbicara
mengenai kemungkinan berkembangnya masyarakat madani di Indonesia diawali
dengan kasus-kasus pelanggaran HAM dan pengekangan kebebasan berpendapat
berserikat dan kebebasan untuk mengemukakan pendapat di muka umum kemudian dilanjutkan
dengan munculnya berbagai lembaga-lembaga non pemerintah yang mempunyai
kekuatan dan bagian dari social control.
Sejak zaman Orde Lama dengan rezim Demokrasi Terpimpinnya Soekarno, sudah
terjadi manipulasi peran serta masyarakat untuk kepentingan politis dan
terhegemoni sebagai alat legitimasi politik. Hal ini pada akhirnya
mengakibatkan kegiatan dan usaha yang dilakukan oleh anggota masyarakat
dicurigai sebagai kontra-revolusi. Fenomena tersebut merupakan salah satu
indikasi bahwa di Indonesia pada masa Soekarno pun mengalami kecenderungan
untuk membatasi gerak dan kebebasan publik dalam mengeluarkan pendapat
Sampai pada masa Orde Baru pun pengekangan demokrasi
dan penindasan hak asasi manusia tersebut kian terbuka seakan menjadi tontonan
gratis yang bisa dinikmati oleh sipapun bahkan untuk segala usiaJHal ini dapat
dilihat dari berbagai contoh kasus yang pada masa orde baru berkembang.
Misalnya kasus pemberedelan lembaga pers, seperti AJI, DETIK dan TEMPO.
Fenomena ini merupakan sebuah fragmentasi kehidupan yang mengekang kebebasan
warga negara dalam menyalurkan aspirasinya di muka umum, apalagi ini dilakukan
pada lembaga pers yang nota bene
memiliki fungsi sebagai bagian dari
social control dalam menganalisa dan mensosialisasikan berbagai
kebijakan yang betul-betul merugikan masyarakat.
Melihat itu
semua, maka secara esensial Indonesia memang membutuhkan pemberdayaan dan
penguatan masyarakat secara komprehensif agar memiliki wawasan dan kesadaran
demokrasi yang baik serta mampu menjunjung tinggi nilai-nilai Hak Asasi
Manusia. Untuk itu, maka diperlukan pengembangan masyarakat madani dengan
menerapkan strategi pemberdayaannya sekaligus agar proses pembinaan dan
pemberdayaan itu mencapai hasilnya secara optimal.
G.
Metode Membentuk Masyarakat Madani
Menurut Dawam ada tiga (3) strategi yang salah satunya
dapat digunakan sebagai strategi dalam memberdayakan masyarakat madani di
Indonesia.
- Strategi yang lebih mementingkan integrasi
nasional dan politik. Strategi ini berpandangan bahwa sistem demokrasi
tidak mungkin berlangsung dalam masyarakat yang belum memiliki kesadaran
bangsa dan bernegara yang kuat. Bagi penganut paham ini pelaksanaan demokrasi
liberal hanya akan menimbulkan konflik, dan karena itu menjadi sumber
instabilitas politik. Saat ini yang diperlukan adalah stablitas politik
sebagai landasan pembangunan karena pembangunan lebih – lebih yang terbuka
terhadap perekonomian global membutuhkan resiko politik yang minim. Dengan
demikian persatuan dan kesatuan bangsa lebih diutamanakan dari demokrasi.
- Strategi yang lebih mengutamakan reformasi sistem
politik demokrasi strategi ini berpandangan bahwa untuk membangun demokrasi tidak
usah menunggu rampungnya tahap pembangunan ekonomi. Sejak awal dan secara
bersama – sama diperlukan proses demokratis yang pada esensinya adalah
memperkuat partisipasi politik. Jika kerangka kelembagaan ini diciptakan ,
maka akan dengan sendirinya timbul masyarakat madani yang mampu mengontrol
terhadap negara.
- Strategi yang memilih membangun masyarakat madani
sebagai basis yang kuat ke arah demokratisasi. Strategi ini muncul akibat
kekecewaan terhadap realisasi dari strategi pertama dan kedua. Dengan
begitu strategi ini lebih mengutamakan pendidikan dan penyadaran politik,
terutama pada golongan menengah yang makin luas.
Ketiga model strategi pemberdayaan masyarakat madani tersebut dipertegas
oleh hikmah bahwa di era tradisi ini harus dipikirkan prioritas – prioritas
pemberdayaan dengan cara memahami target – target grup yang paling strategis
serta penciptaan pendekatan – pendekatan yang tepat di dalam proses tersebut.
Untuk keperluan itu, maka keterlibatan kaum cendikiawan, LSM, ormas sosial,
keagamaan dan Mahasiswa adalah mutlak adanya karena merekalah yang memiliki
kemampuan dan sekaligus aktor pemberdayaan tersebut.[14]
BAB
III
PENUTUP
A.
Simpulan
Berdasarkan
pemaparan di atas dapat diambil simpulan bahwa masyarakat madani merupakan
sistem sosial yang subuh yang didasarkan kepada prinsip moral yang menjamin
keseimbangan antara kebebasan perorangan dengan kestabilan masyarakat.
Masyarakat
madani merupakan konsep yang berasal dari pergolakan politik dan sejarah
masyarakat Eropa Barat yang mengalami proses transformasi dari pola kehidupan
feodal menuju kehidupan masyarakat industri kapitalis. Jika dicari akar
sejarahnya dari awal, maka perkembangan wacana masyarakat madani dapat dirunut
mulai dari Cicero sampai pada Anto- nio Gramsci dan deTocquiville.
Karakteristik masyarakat madani antara lain
adalah adanya Free Public Sphere, Demokratis,
Toleransi, Pluralisme, Keadilan Sosial (social justice).
Pilar-pilar masyarakat madani antara lain adalah
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM),
Pers, Supremasi Hukum, Perguruan Tinggi dan Partai Politik.
Hubungan
antara masyarakat madani dengan demokrasi (demokratisasi), bagaikan dua sisi
mata uang, keduanya bersifat koeksistensi.
Masyarakat
madani di Indonesia diawali dengan kasus-kasus pelanggaran HAM dan pengekangan
kebebasan berpendapat berserikat dan kebebasan untuk mengemukakan pendapat di
muka umum kemudian dilanjutkan dengan munculnya berbagai lembaga-lembaga non
pemerintah yang mempunyai kekuatan dan bagian dari social control.
DAFTAR
PUSTAKA
Azra, Azyumardi, 2003, Demokrasi,
Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, Jakarta: ICCE UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta bekerja sama dengan The Asia Foundation & PRENADA
MEDIA.
[1]
Azyumardi Azra, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, ,
(Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta bekerja sama dengan Tha Asia
Foundation & PRENADA MEDIA, 2003), edisi revisi, hal. 238-239.
[2] Ibid., hal. 240.
[3] Ibid., hal. 242-243.
[4] Ibid., hal. 243.
[5] Ibid., hal. 243.
[6] Ibid., hal. 245.
[7] Ibid., hal. 246-249.
[8] Ibid., hal. 250.
[9] Ibid., hal. 250-251.
[10] Ibid., hal. 251-252.
[11] Ibid., hal. 252-253.
[12] Ibid., hal. 253-254.
[13] Ibid., hal. 255.
[14] Ibid., hal. 256-258.
Komentar
Posting Komentar