Bertahun-tahun Tak Minum Keadilan
Bertahun-tahun
Tak Minum Keadilan
Muhammad Abizar Al-Gifary
Mahasiswa UIN Antasari Banjarmasin
“Ketika kemarau keadilan melanda
negeri, masyarakatpun akhirnya turun
tangan”
Negara
hukum, sebutan itulah yang sering kita dengar sebagai gambaran negeri Indonesia
tercinta ini. Dimana dalam proses mencari keadilan dilakukan melalui suatu
pengadilan, yang katanya sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku dan dilaksanakan
secara adil.
Namun, hingga kini masyarakat sendiri
masih disodorkan fenomena ketimpangan dalam pelaksanaan suatu keadilan yang
tentunya berbeda seratus delapan puluh derajat dengan yang diharapkan oleh
publik.
Contoh kasus yang belakangan sedang
menjadi viral, bukan hanya di Indonesia tapi juga menjadi sorotan media luar,
yaitu penistaan yang dilakukan oleh seorang Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau biasa dipanggil
“Ahok”. Kasus ini bermula ketika Ahok berpidato di Kepulauan Seribu dalam
acara kunjungannya untuk meninjau program pem-berdayaan budi daya kerapu,
dalam video yang diupload oleh Pemda DKI Jakarta, di dalamnya Ahok mengatakan bahwa
Surat Al-Maidah ayat 51 adalah sebagai alat pem-bohongan.
“Kan bisa saja dalam hati kecil
Bapak Ibu, nggak pilih saya karena dibohongi pakai Surat Al-Maidah 51
macem-macem itu. Itu hak Bapak Ibu. Kalau Bapak Ibu merasa nggak bisa pilih karena
takut masuk neraka, dibodohin begitu, oh nggak apa-apa, karena ini panggilan
Bapak Ibu”. Yaa, petikan kalimat yang dikatakan Ahok itulah yang menuai
kontroversi.
Berkaitan dengan hal tersebut, beberapa
organisasi melaporkan Ahok ke Polri dengan tuduhan Penistaan Agama, namun dari
pihak Polri nampaknya mengulur-ulur waktu dalam penetapan Ahok sebagai
“tersangka” dalam kasus tersebut. Padahal ulama dengan jelas menyuarakan bahwa apa yang dikatakan Ahok di
Kepulauan Seribu itu merupakan sebuah penistaan terhadap Agama Islam (walaupun
ada ulama yang mengatakan bahwa hal tersebut bukanlah sebuah penistaan, namun
mayoritas ulama mengatakan demikian). Salah satu ulama yang dengan lantang
menyuarakan hal tersebut adalah Habib Rizieq Syihab. Bahkan beliau (Habib
Rizieq Syihab) mengatakan (dalam acara Tabligh Akbar di Masjid Sabilal Muhtadin Banjarmasin), bahwa
penistaan yang dilakukan oleh Ahok bukan hanya terjadi sekali itu saja, namun
hal itu sudah yang kesekian kalinya dan bahkan Ahok menulis sebuah buku, yang
di dalamnya pula terdapat unsur penistaan kepada Agama Islam.
Waktu kian terus berjalan, namun
kasus yang menimpa Ahok terkesan lamban dalam prosesnya, dengan berbagai alasan
yang dilontarkan oleh pihak Polri, hingga akhirnya memaksa masyarakat yang
haus akan kea-dilan untuk turun beberapa kali ke jalan sebagai bentuk pembelaan
dan penyampaian aspirasi, yang dinamakan “Aksi Bela Islam I, II, III, dan IV”.
Ratusan, ribuan, bahkan jutaan ummat ikut andil dalam aksi tersebut.
Setelah penetapan Ahok sebagai
tersangka dalam kasus tersebut, publik kembali dibuat menganga dan bertanya-tanya,
dengan masih bebasnya Ahok berkeliaran di ruang publik. Padahal kalau ditilik
kembali kasus-kasus terdahulu yang dikenakan Pasal 156 A KUHP, tidak ada
seorangpun yang telah ditetapkan sebagai tersangka yang tidak ditahan.
Contoh lain beberapa tahun yang
lalu, yang juga sempat menjadi perbincangan publik adalah kasus yang menimpa
seorang nenek, nenek Asyani namanya. Beliau dituduh mencuri tujuh buah kayu di
lahan milik Perum Perhutani. Padahal kayu tersebut beliau ambil di lahan milik
beliau sendiri yang dibuktikan dengan sertifikat atas hak kepemilikan dari
tanah tersebut. Namun akhirnya beliau diputuskan untuk tidur beralaskan tikar
di atas dinginnya lantai penjara.
Di sini jelas terjadi kesenjangan
dalam hal keadilan di negeri ini. Hingga kalau disimpulkan hukum di negeri
ini bagaikan pisau, yang tajam ke bawah
namun tumpul ke atas. Hukum dirasa kebal bagi para pejabatan maupun orang
berduit, namun pasti menjerat kepada rakyat kalangan bahwa. Dimanankah letak
keadilan bila masih memandang golongan ? yang kuat selalu berkuasa, dan yang
lemah pasti merana. Seakan-akan hukum adalah permainan untuk menjaga kekuasaan.
Ingin berkata tidak dan menyanggah
itu semua, tapi apa daya, inilah kenyataan yang terjadi di negara yang dijuluki
sebagai surga dunia, INDONESIA.
Komentar
Posting Komentar